ANALISA
PERJANJIAN LEASING DI TINJAU DARI PASAL 1320 KUHPerdata DAN PERJANJIAN BAKU
By: Agusman Zai, SH
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Pamulang - Banten
KATA PENGANTAR
Segala puji hanya milik Allah SWT.
Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada Rasulullah SAW. Berkat limpahan
dan rahmat-Nya penyusun mampu menyelesaikan tugas makalah ini guna memenuhi
tugas mata kuliah Hukum
Perjanjian Kontrak.
Makalah ini disusun agar pembaca dapat
mengetahui apa itu Leasing yang sebenarnya, yang kami sajikan berdasarkan
pengamatan dari berbagai sumber. Makalah ini disusun dengan banyak
rintangan,baik itu datangnya dari diri penyusun maupun dari luar. Namun penulis menyadari bahwa kelancaran dalam
penyusunan materi ini tidak lain berkat bantuan, dorongan, dan bimbingan orang
tua,
dengan penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari Tuhan akhirnya makalah ini
dapat terselesaikan.
Penyusun Juga mengucapkan terima kasih kepada
dosen pembimbing yang telah memberi petunjuk dalam mencari bahan untuk
menyelesaikan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat memberikan
wawasan yang lebih luas dan menjadi sumbangan pemikiran kepada pembaca. Saya
sadar bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna.
Pamulang, 17 Januari 2014
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Pembangunan ekonomi sebagai bagian dari pembangunan nasional,merupakan
salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang adil dan makmur
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara RepublikIndonesia Tahun
1945. Dalam rangka bertambah meningkatnya pembangunan nasional yang bertitik
berat pada bidang ekonomi, yang para pelakunya meliputi Pemerintah maupun
masyarakat sebagai orang-perseorangan dan badan hukum, sangat diperlukan dana
dalam jumlah yang sangat besar, sehingga dengan meningkatnya kegiatan pembangunan
tersebut, maka meningkat pula keperluan akan tersedianya dana yang sebagian
besar diperoleh melalui perkreditan.
Kegiatan pinjam-meminjam uang atau yang lebih dikenal dengan istilah kredit
dalam praktek kehidupan sehari-hari bukanlah merupakan sesuatu yang asing lagi,
bahkan istilah kredit ini tidak hanya dikenal oleh masyarakat perkotaan, tetapi
juga sampai pada masyarakat di pedesaan. Kredit umumnya berfungsi untuk
memperlancar suatu kegiatan usaha, dan khususnya bagi kegiatan perekonomian di Indonesia
sangat berperan penting dalam kedudukannya, baik untuk usaha produksi maupun
usaha swasta yang dikembangkan secara mandirikarena bertujuan meningkatkan
taraf kehidupan bermasyarakat.
Salah
satu sarana yang mempunyai peran strategis dalam pengadaan dana adalah lembaga
perbankan, yang telah membantu pemenuhan kebutuhan dana bagi kegiatan
perekonomian dengan memberikan pinjaman uang antara lain melalui kredit
perbankan, yaitu berupa perjanjian kredit antara kreditur sebagai pihak pemberi
pinjaman atau fasilitas kredit dengan debitur sebagai pihak yang berhutang.
Pasal 3 dan 4 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan menyebutkan bahwa fungsi
utama perbankan Indonesia yaitu sebagai penghimpun dan penyalur dana dari
masyarakat yang bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional kearah
peningkatan kesejahteraan rakyat. Dalam melakukan usahanya tersebut, bank
menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan giro, deposito berjangka,
sertifikat deposito, tabungan, dan atau dalam bentuk lain yang dipersamakan
dengan itu. Dalam hal ini, bank juga menyalurkan dana dari masyarakat dengan
cara memberikan kredit dalam bentuk usaha kredit perbankan.
Peta perekonomian global yang
mendobrak batas-batas wilayah negara, sistem pasar dan model investasi menjadi
acuan seberapa besar potensi laba dan resiko dari suatu usaha yang akan
diadakan oleh investor.
Liberalisasi perdagangan tidak hanya
menjadi persaingan anatara komoditi andalan, tetapi juga merupakan persaingan
dibidang jasa, pada kondisi sepereti ini yang menjadi pertimbangan dari
konsumen adalah tingkat efisiensi, sedangkan produsen /pengusaha adalah tingkat
keamanan dari suatu investasi modal yang diselenggarakan.
Lembaga pembiayaan leasing dibentuk
berdasarkan surat keputusan bersama (SKB) Menteri Keuangan, Menteri
Perindustrian dan Menteri Perdagangan Republik Indonesia
Nomor.Kep.-122/MK/IV/2/1974, Nomor.32/M/SK/2/1974, 30/Kpb/I/1974 tertanggal 7
Februari 1974, tentang perizinan usaha leasing.
Perusahaan pembiayaan leasing
merupakan perusahaan pembiayaan yang masih relatif baru, pada awal
perkembangannya usaha leasing dipacu oleh pemerintah dalam rangka mendorong
perkembangan dunia usaha dengan memberikan beberapa fasilitas anatara lain
dengan memberikan penundaan pembayaran perpajakan , sehingga usaha leasing
berkembang dengan sangat maju dan pesat.
Dalam konteks lembaga leasing (sewa
guna usaha) itu sendiri menjadi perdebatan apakah lembagta jual beli, sewa
beli, jual beli dengan angsuran atau sewa menyewa dengan opsi membeli, hal
tersebut berkaitan erat dengan hak kebendaan yang pada salah satu pihak
menyangkut batas-batas hak dan tanggung jawabnya.
Fasilitas yang diadakan oleh
perusahaan leasing (sewa guna usaha) sebagai perusahaan pembiayaan sangat
meringankan konsumen yang kekurangan modal untuk membeli alat pendukung usaha,
sehingga leasing menjadi yang sangat solutif.
Leasing (sewa guna usaha) sebagai
lembaga pembiayaan dalam sistem kerjanya akan menghubungkan kepentingan dari
beberapa pihak yang berbeda, yaitu :
1. Lessor adalah pihak leasing itu
sendiri sebagai pemilik modal, yang nantinya akan memberikan modal alat atau
membeli suatu barang.
2. Lessee adalah nasabah atau
perusahaan yang bertindak sebagai pemakai peralatan/barang yang akan di leased
atau atau yang akan disewakan pihak penyewa/lessor.
3. Vendor atau leveransir atau disebut
supplier, sebagai pihak ketiga penjual suatu barang yang akan dibeli oleh
lessor untuk disewakan kepada lessee.
Hubungan lessor dan lessee adalah
hubungan timbal balik , menyangkut pelaksanaan kewajiban dan peralihan suatu
hak atau tuntutan kewajiban dari kenikmatan menggunakan fasilitas pembiayaan,
untuk itu antara lessor dan lessee dibuat perjanjian financial lease /kontrak
leasing.
Bagi lessor keuntungan yang hendak
dicapai dalam perjanjian financial lease dengan lessee semata-mata bertumpu
pada terciptanya kepastian hukum terhadap perjanjian kontrak tentang serankaian
pembayaran oleh lessee atas penggunaan aset yang menjadi objek lease, termasuk
pengakuan lessee tentang penguasan objek oleh lessee yang kepemilikannya
dipegang oleh lessor, sehingga melahirkan hak secara hukum bagi lessor bila
terjadi wanprestasi oleh lessee untuk menyita objek lessee. Sedangkan
kerugiannya dapat berupa :
a.
Sebagai pemilik, lessor mempunyai resiko yang yang lebih
beasr dari pada lessee sehubungan dengan barang lease maupun dengan kegiatan
operasionalnya, yaitu adanya tanggung jawab atas tuntutan pihak ketiga jika
terjadi kecelakaan ataupun kerusakan atas barang orang lain yang disebabkan
oleh lease property tersebut.
b.
Pihak lessor walaupun statusnya sebagai pemilik dari lease
property tetapi tidak bisa melakukan penuntututan (claim) kepada
pabrik/suppliernya secara langsung, tindakan tersebut harus dilakukan oleh lessee
sebagai pemakai barang.
c.
Sebagai pemilik barang , lessor secara hukum harus
bertanggung jawab atas pembayaran beberapa kewajiban pajak tertentu.
d.
Walaupun lessor mempunyai hak secara hukum untuk menjual
leased property, khususnya pada akhir periode lease, lessor belum dapat yakin
bahwa barang yang bersangkutan bebas dari ikatan seperti liens (gadai), atau
kepentingan-kepentingan lainnya.
Bagi lessee, keuntungan yang hendak
dicapai dalam perjanjian financial lease dengan leasing/lessor adalah :
- Capital saving, yakni ia tidak perlu menyediakan dana besar , maksimum hanya down payment (uang muka) yang biasanya jumlahnya banyak.
- Tidak diperlukan adanya jaminan (agunan).
- Terhindar dari resiko.
- Masih tetap mempunyai kesempatan untuk meminjam uang dari sumber-sumber lain sesuai dengan kredit line yang dimiliki.
- Mempunyai hak pilih (option rights).
Penjelasan tentang tidak
diperlukannya jaminan karena konsep dari usaha leasing (sewa guna usaha) adalah
pinjaman modal usaha dan jaminan kedudukannya dalam perjanjian leasing menjadi
ketentuan prinsipil, dasar pemikiran dari konsep leasing tidak menghilangkan
fungsi jaminan sebagai fungsi modal dalam usaha leasing/lessee, hal tersebut
yang menjadi penekanan bahwa jaminan dalam penerapan perjanjian leasing sangat
fleksibel.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Leasing
Perusahaan sewa guna
usaha di Indonesia lebih dikenal dengan nama Leasing. Kegiatan utamanya adalah
bergerak di bidang pembiayaan untuk keperluan barang-barang modal yang
diinginkan oleh nasabah. Pembiayaan yang dimaksud jika seorang nasabah
membutuhkan barang-barang modal seperti peralatan kantor atau mobil dengan cara
disewa atau dibeli secara kredit dapat diperoleh diperusahaan leasing. Pihak
Leasing dapat membiayai keinginan nasabah dengan perjanjian yang telah
disepakati kedua pihak.
Perusahaan Leasing
dapat diselenggarakan oleh atau badan usaha yang berdiri sendiri. Keterbatasan
perusahaan leasing adalah tidak boleh melakukan kegiatan yang dilakukan oleh
bank seperti memberikan simpanan dan kredit dalam bentuk uang.
Pengertian sewa guna
usaha secara umum adalah perjanjian antara lessor (perusahaan leasing) dengan
lessee (nasabah) di mana pihak lessor memyediakan barang dengan hak penggunaan
oleh lessee dengan imbalan pembayaran sewa untuk jangka waktu tertentu.
Sedangkan pengertian
sewa guna usaha sesuai dengan keputusan Menteri Keuangan No. 1169/KMK.01/1991
adalah “kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal, baik secara
sewa guna usaha dengan hak opsi (finance lease) maupun sewa guna usaha tanpa
hak opsi (operating lease) untuk digunakan oleh lessee selama jangka waktu
tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala”. Yang dimaksud dengan finance
lease adalah kegiatan sewa guna usaha dimana lessee pada akhir masa kontrak
mempunyai hak opsi untuk membeli objek sewa guna usaha berdasarkan nilai sisa
yang disepakati. Sebaliknya,operating lease tidak mempunyai hak opsi untuk
membeli objek sewa guna usaha.
a.
Ketentuan Leasing
Kegiatan Leasing
secara remi diperbolehkan beroperasi di indonesia setelah keluar surat
keputusan bersama antara Menteri Keuangan,Menteri Perindustrian dan Menteri
Perdagangan Nomor Kep. 122/MK/IV/2/1974, Nomor 32/M/SK/2/74 dan Nomor
30/Kpb/I/74 Tanggal 7 Februari 1974 Tentang Perizinan Usaha Leasing di
Indonesia.
Wewenang untuk
memberikan usaha Leasing di keluarkan oleh Menteri Keuangan berdasarkan Surat
keputusan Nomor 649/MK/IV/5/1974 Tanggal 6 Mei 1974 yang mengatur mengenai
ketentuan tata cara perizinan dan kegiatan usaha leasing di Indonesia.
Lembaga Pembiayaan
Menurut ketentuan ini dimungkinkan untuk melakukan salah satu dari kegiatan
pembiayaan seperti :
1. Sewa guna usaha (
Leasing )
2. Modal ventura (
venture capital )
3. Anjak Piutang (
factoring )
4. Pembiayaan konsumen
( consumer finance )
5.Kartu Kredit (
credit card )
Pemberian izin untuk
melakukan usaha-usaha pembiayaan seperti di atas, terlebih dulu harus
memperoleh izin dari Menteri Keuangan.
b.
Pihak-pihak yang terlibat
Adapun pihak-pihak
yang terlibat dalam proses pemberian fasilitas leasing adalah sebagai berikut :
1.
Lessor
Merupakan perusahan
leasing yang membiayai keinginan para nasabahnya untuk memperoleh barang-barang
modal.
2.
Lessee
Adalah nasabah yang
mengajukan permohonan leasing kepada lessor untuk memperoleh barang modal yang
di inginkan.
3.
Supplier
Yaitu pedagang yang
menyediakan barang yang akan di leasing sesuai perjanjian antara lessor dengan
lessee dan dalam hal ini suplier juga dapat bertindak sebagai lessor.
4.
Asuransi
Merupakan perusahaan
yang akan menanggung resiko terhadap perjanjian antara lessor dengan lessee.
Dalam hal ini lessee dikenakan biaya asuransi dan apabila terjadi sesuatu, maka
perusahaan akan menanggung resiko sebesar sesuai dengan perjanjian terhadap
barang yang di leasingnya.
B. Mekanisme Leasing
1)
Lesse menghubungi pemasok untuk pemilihan dan
penentuan jenis barang, spesifikasi, harga, jangka waktu penagihan, dan jaminan
purna jual atas barang yang akan disewa.
2)
Lesse
melakukan negoisasi dengan lessor mengenai kebutuhan pembiayaan barang modal.
Dalam hal ini, lessee dapat meminta lease quotation yang tidak mengikat dari
lessor. Dalam quotation terdapat syarat-syarat pokok pembiayaan leasing, antara
lain: keterangan barang, harga barang, cash security deposit, residual value,
asuransi, biaya administrasi, jaminan uang sewa ( lease rental ), dan
persyaratan-persyaratan lainnya.
3)
Lessor mengirimkan letter of offer atau comitment
letter kepada lessee yang berisi syarat-syarat pokok persetujuan lessor untuk
membiayaai barang modal yang dibutuhkan, lessee menandatangani dan
mengembalikannya kepaada lessor.
4)
Penandatangan kontrak leasing setelah semua
persyaratan dipenuhi lessee, dimana kontrak tersebut mencakup hal-hal:
pihak-pihak yang terlibat, hak milik, jangka waktu, jasa leasing, opsi bagi
lessee, penutupan asuransi, tanggung jawab dan objek leasing, perpajakan jadwal
pembayaran angsuran sewa dan sebagainya.
5)
Pengiriman order beli kepada pemasok disertai
instruksi pengiriman barang kepada lessee sesuai dengan tipe dan spesifikasi
barang yang telah disetujui.
6)
Pengiriman barang dan pengecekan barang oleh
lessee sesuai pesanan serta menandatangani surat tanda terim dan perintah bayar
selanjutnya diserahkan
7)
Penyerahan dokumen oleh pemasok kepada lessor
termasuk faktur dan bukti-bukti kepemilikan barang lainnya.
8)
Pembayaran oleh lessor kepada pemasok
9)
Pembayaran sewa ( lease payment ) secara
berkala oleh lessee kepada lessor selama masa leasing yang seluruhnya mencakup
pengembalian jumlah yang dibiayai beserta bunganya.
C. Teknik-Teknik Pembiayaan Leasing
Teknik pembiayaan
leasing dapat dibagi dalam dua kategori, yaitu finance lease dan operating
lease.
a.
Finance Lease
Dalam sewa guna usaha
ini, perusahaan sewa guna (lessor) adalah pihak yang membiayai penyediaan
barang modal. Lessee biasanya memilih barang modal yang dibutuhkan dan, atas
nama perusahaan sewa guna usaha, sebagai pemilik barang modal tersebut,
melakukan pemesanan, pemeriksaan serta pemeliharaan barang modal yang menjadi
objek transaksi sewa guna usaha.
Dalam praktinya,
finance lease dapat dibagi dalam beberapa bentuk transaksi antara lain sebagai
berikut :
1) Direct finance
lease
Dalam transaksi direct
finance lease, pihak lessor membeli barang modal atas permintaan dari lessee
dan langsung disewagunausahakan kepada lessee. Lessee dapat terlibat dalam
proses pembelian barang modal dari pemasok.
2) Sale and lease back
Pihak lessee menjual
barang modalnya kepada lessor untuk kemudian dilakukan kontrak sewa guna usaha
atas barang tersebut dengan jangka waktu yang disepakati bersama. Metode
transaksi ini membantu lessee yang mengalami kesulitan modal kerja.
3) Leveraged lease
Dalam proses sewa guna
ini, pihak yang terlibat adalah lessor, lessee dan kreditor jangka panjang
dalam membiayai objek leasing. Pihak kreditor inilah yang biasanya justru
memberikan porsi yang besar dalam pembiayaan. Kreditor jangka panjang, biasanya
lembaga keuangan misalnya bank yang akan menyediakan pembiayaan sebesar 60% -
80% yang disebutkan leverage debt without recourse kepada pihak leassor.
Apabila pihak lessee mengalami default dan tidak mampu mengangsur, lessor tidak
ikut bertanggungjawab kepada bank.
4) Syndicated lease
Metode ini terjadi
apabila pembiayaan sewa guna usaha dilakukan oleh lebih dari satu lessor. Kerja
sama antara lessor ini didasarkan pada pertimbangan risiko atau objek leasing
yang membutuhkan dana dalam jumlah besar.
5) Vendor Program
Vendor program adalah
suatu metode penjualan yang dilakukan oleh dealer kepada konsumen dengan
mendapatkan fasilitas leasing. Lessor akan membayar objek leasing kepada
vendor/dealer dan selanjutnya lessee akan membayar angsuran secara periodik
langsung kepada lessor atau melalui dealer.
b.
Operating Lease Dalam teknik operating lesae,
pihak pemilik objek leasing atau leasor membeli barang modal dan
disewagunausahakan kepada lesee. Pembayaran periodik yang dilakukan oleh lessee
tidak mencangkup biaya yang dikeluarkan oleh lessor untuk mendapatkan barang
modal tersebut dan bunganya. Lessor mengharapkan keuntungan dari penjualan
barang modal yang disewagunausahakan. Lessor dapat juga memperoleh sumber
penghasilan dari perjanjian sewa sewa guna usaha yang lain.
Operating lease dapat
juga disebut leasing biasa yaitu satu perjanjian kontrak antara leasor dengan
lessee, dengan catatan bahwa :
Ø Lessor sebagai pemilik
objek leasing menyerahkannya kepada pihak lessee untuk digunakan dengan jangka
waktu relatif lebih pendek dari umur ekonomis barang modal tersebut.
Ø Lessee atas penggunaan
barang modal tersebut, membayar sejumlah sewa secara berkala kepada leasor yang
jumlahnya tidak meliputi jumlah keseluruhan biaya pemerolehan barang tersebut
beserta bunganya. Hal ini disebut nonfull pay out lease.
Ø Lessor menanggung
segala risiko ekonomis dan pemeliharaan atas barang-barang tersebut.
Ø Lessee pada ahir
kontrak harus mengembalikan objek leasing pada lessor.
Ø Lessee dapat
membatalkan perjanjian kontrak leasing sewaktu-waktu (cancelable).
1.
Analisis
Terhadap Asas-Asas Perjanjian dalam KUHPerdata
Pengertian
“asas” atau “prinsip” yang dalam bahasa Belanda disebut “benginsel” atau
“principle” (bahasa Inggris) atau dalam bahasa Latin disebut “principium”
(“primus” artinya pertama dan “capere” artinya mengambil atau menangkap),
secara leksikal berarti sesuatu yang menjadi dasar tumpuan berfikir atau
bertindak atau kebenaran yang menjadi pokok dasar berfikir, bertindak, dan
sebagainya4.
Bellefroid
berpendapat bahwa, asas hukum umum adalah norma dasar yang dijabarkan dari
hukum positif dan yang oleh ilmu hukum tidak dianggap berasal dari
aturan-aturan yang lebih umum. Asas hukum umum itu merupakan pengendapan hukum
positif dalam suatu masyarakat. Sedangkan Sudikno sendiri berpendapat bahwa
asas hukum atau prinsip hukum bukanlah peraturan hukum konkrit, melainkan
merupakan pikiran dasar yang umum sifatnya atau merupakan latar belakang dari
peraturan yang konkrit yang terdapat dalam dan dibelakang setiap sistim hukum
yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang
merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat umum
dalam peraturan konkrit tersebut.
Asas-asas
hukum ini bersifat sangat umum dan menjadi landasan berfikir, yaitu dasar
idiologis aturan-aturan hukum. Beberapa asas tersebut bersifat samar-samar dan dengan
upaya yang sangat keras dapat dipahami dan diuraikan secara jelas. Asas hukum
merupakan sumber bagi sistem hukum yang memberi inspirasi mengenai nilai-nilai
etis, moral dan sosial masyarakat. Dengan demikian, asas hukum sebagai landasan
norma menjadi alat uji bagi norma hukum yang ada, dalam arti norma hukum
tersebut pada akhirnya harus dapat dikembalikan pada asas hukum yang
menjiwainya. Sedangkan pada asas-asas hukum kontrak, pada dasarnya tidak
terpisah satu dengan lainya, namun dalam berbagai hal saling mengisi dan
melengkapi. Dengan kata lain masing-masing asas tidak berdiri dalam
kesendirianya, tetapi saling melingkupi dan melengkapi keberadaan suatu
kontrak8.
Mariam
Darus Badrulzaman, dalam disertasinya yang berjudul “Perjanjian Kredit Bank”
berpandangan bahwa dalam hubungan bank-nasabah, menempatkan nasabah pada posisi
yang lemah sehingga perlu dilindungi melalui campur tangan pemerintah terhadap
substansi perjanjian kredit bank.
Sri
Gambir Melati Hatta, dalam disertasinya “Beli Sewa sebagai Perjanjian Tak
Bernama: Pandangan Masyarakat dan Sikap Mahkamah Agung Indonesia”,
menyimpulkan bahwa asas keseimbangan juga dipahami sebagai keseimbangan
kedudukan posisi tawar para pihak dalam menentukan hak dan kewajibanya dalam
perjanjian. Ketidak seimbangan posisi menimbulkan ketidak adilan, sehingga
perlu intervensi pemerintah untuk melindungi pihak yang lemah melalui
penyeragaman syarat-syarat perjanjian.
Ahmadi
Miru, dalam disertasinya “Prinsip-prinsip Perlindungan Hukum bagi Konsumen
di Indonesia”, menyimpulkan bahwa keseimbangan antara konsumen-produsen
dapat dicapai dengan meningkatkan perlindungan terhadap konsumen karena posisi
produsen lebih kuat dibandingkan dengan konsumen.
Herlien
Budiono, dalam disertasinya “Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian
Indonesia, Hukum Perjanjian Berlandaskan Asas-Asas Wigati Indonesia”,
menyimpulkan bahwa baik asas-asas hukum kontrak yang hidup dalam kesadaran
hukum Indonesia (semangat gotong royong, kekeluargaan, rukun, patut, pantas dan
laras) sebagaimana yang tercermin dalam hukum adat maupun asas-asas hukum
modern (asas consensus, asas kebebasan berkontrak) sebagaimana yang
ditemukan dalam perkembangan hukum kontrak Belanda dalam perundang-undangan,
praktik hukum dan yurisprudensi, bertemu dalam satu asas, yaitu asas
keseimbangan.
Agus
Yudha Hernoko, dalam disertasinya “Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas
dalam Kontrak Komersial”, mengunakan istilah Asas Proporsionalitas dalam
kontrak yang diartikan sebagai asas yang mendasari pertukaran hak dan kewajiban
para pihak sesuai porsinya atau bagianya. Asas proporsionalitas tidak
mempermasalahkan keseimbangan (kesamaan) hasil, namun lebih menekankan proporsi
pembagian hak dan kewajiban diantara para pihak10. Keadilan dalam berkontrak
lebih termanifestasi apabila pertukaran kepentingan para pihak terdistribusi
sesuai dengan hak dan kewajibanya secara proporsional. Keadilan tidak selalu
berarti semua orang harus selalu mendapat sesuatu dalam jumlah yang sama, tanpa
memperhatikan perbedaan-perbedaan yang secara obyektif ada pada setiap individu
atau para pihak dalam perjanjian.
Ketidak
seimbangan dalam klausula perjanjian baku yang dibuat oleh lessor yang
berkedudukan lebih kuat, sering kali nilai keadilan dalam perjanjian tersebut
diabaikan karena lessor lebih menonjolkan hak-haknya dan menekankan
kewajiban lessee. Dalam hal yang demikian, nampak bahwa unsur keadilan
khususnya keadilan distributive yang menghendaki adanya keseimbangan
antara kepentingan-kepentingan setiap orang sehingga setiap orang tersebut
mendapat apa yang menjadi hak atau jatahnya sesuai jasa atau kemampuanya
sebagaimana pendapat Aristoteles, sebagai tujuan hukum tidak dipertimbangkan
dalam penyusunan klausula dan pelaksanaan perjanjian baku tersebut.
Sewa Guna
Usaha (Leasing) khususnya Financial Lease yang pada dasarnya
untuk membantu dan sebagai jalan keluar bagi mereka yang kurang mampu untuk
memperoleh barang modal, sebagai wujud keadilan yang berwatak kebajikan (virtue)
ternyata menjadi bentuk pengingkaran dari keadilan itu sendiri karena
klausula-klausula yang terdapat dalam perjanjian baku tersebut lebih menjamin
hak salah satu pihak yaitu lessor sebagai pihak yang membuat perjanjian
dan kedudukan ekonominya lebih kuat dalam mewujudkan kebebasan berkontrak
menurut pemahamanya sendiri yang tanpa batas, tanpa memperhatikan asas-asas
hukum perjanjian yang lain secara benar. Oleh karena itu, dalam praktik dan
perkembanganya keadilan dikoreksi dan disandingkan dengan “equity” (kepatutan).
Equity tidak bermaksud mengubah atau mengurangi keadilan, melainkan sebatas
memberikan koreksi dan atau melengkapi dalam keadaan individu tertentu, kondisi
serta kasus tertentu.
2.
Analisis
Klausula Baku Menurut UU No.8 Tahun 1999 Tentang Lembaga Pembiayaan.
Syarat
sahnya perjanjian telah diatur dalam Bab IV buku III KUHPerdata Pasal 1320,
undang-undang memberikan hak kepada setiap orang untuk secara bebas membuat dan
melaksanakan perjanjian sepanjang keempat unsur tersebut terpenuhi. Dengan kata
lain bahwa, pada dasarnya perjanjian yang dibuat haruslah berdasarkan
kesepakatan bebas antara dua pihak atau lebih yang cakap untuk melakukan
perbuatan hukum (memenuhi syarat subyektif) untuk melakukan suatu prestasi yang
tidak bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku, kepatutan, kesusilaan,
ketertiban umum, serta kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat luas (memenuhi
syarat obyektif).
Berkaitan
dengan perjanjian leasing yang dibuat dalam bentuk perjanjian baku dan
masih sangat dibutuhkan sebagai bentuk perjanjian tak bernama karena tidak
diatur secara khusus dalam KUHPerdata tetapi terdapat dalam masyarakat yang
menghendaki transaksi bisnis cepat, efesien dan efektif, apalagi jika dikaitkan
dengan prinsip bahwa “waktu adalah uang”; Salah satu ciri perjanjian baku
adalah klausula-klausulanya telah dibuat dan ditentukan oleh salah satu pihak
yang lebih dominan, hal tersebut akan sangat merugikan pihak yang kurang
dominan. Dalam perjanjian baku juga sudah tidak mungkin lagi untuk melakukan
negosiasi atau tawar-menawar, pihak yang kurang dominan hanya memiliki pilihan
untuk menerima atau menolak isi perjanjian sehingga tidak atau kurang
mencerminkan adanya kesepakatan bebas dari kedua belah pihak. Namun demikian
tidaklah dapat dikatakan bahwa kesepakatan tersebut digolongkan sebagai
kesepakatan yang cacat kehendak dan bertentangan dengan ketentuan Pasal 1320
KUHPerdata. Hal tersebut dikarenakan lessee masih mempunyai hak dan
pilihan untuk menyetujui atau menolak perjanjian yang diajukan oleh lessor kepadanya.
Peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang klausula baku adalah Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dimana dalam Pasal 1 butir
(10) menentukan:
Klausula
baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah
dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha
yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib
dipenuhi oleh konsumen.
Sedangkan
Undang-undang Perlindungan Konsumen tidak mengenal dan memberikan definisi
tentang perjanjian baku itu sendiri. Mariam Darus mengartikan perjanjian baku
adalah perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk
formulir-formulir.
Sutan
Remi mengistilahkan dengan perjanjian standar, sebagai perjanjian yang hampir
seluruh klausul-klausulnya distandarkan oleh pemakainya dan pihak yang lain
pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta
perubahan. Adapun yang belum distandarkan hanya beberapa hal, misalnya; yang
menyangkut jenis, harga, jumlah, warna, tempat dan beberapa hal yang spesifik
dari obyek yang diperjanjikan. Sjahdeni menekankan yang distandarkan bukan
formulir perjanjian tersebut, melainkan klausul-klausulnya.
Ketentuan
pencantuman klausula baku oleh Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen diatur dalam Bab V yang hanya terdiri atas satu pasal,
yaitu pasal 18. Pasal 18 Ayat 1 selengkapnya menentukan:
Pelaku
usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan
dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau
perjanjian apabila:
a. Menyatakan pengalihan tanggung
jawab pelaku usaha;
b. Menyatakan bahwa pelaku usaha
berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
c. Menyatakan bahwa pelaku usaha
berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau
jasa yang dibeli oleh konsumen;
d. Menyatakan pemberian kuasa dari
konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk
melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh
konsumen secara angsuran;
e. Mengatur perihal pembuktian atas
hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
f. Member hak kepada pelaku usaha
untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang
menjadi obyek jual beli jasa;
g. Menyatakan tunduknya konsumen
kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau
pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen
memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h. Menyatakan bahwa konsumen member
kuasa kepada pelaku usaha untuk membebankan hak tanggungan, hak gadai, atau hak
jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
Dengan demikian, pada dasarnya
Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen tidak melarang pelaku usaha untuk
membuat perjanjian baku yang klausula-klausulanya telah ditetapkan terlebih
dahulu oleh salah satu pihak sepanjang perjanjian baku tersebut tidak
mencantumkan atau memuat klausula sebagaimana yang dilarang dalam Pasal 18 Ayat
(1).
Selanjutnya Pasal 18 Ayat (2)
menentukan: “Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak dan
bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang
pengungkapanya sulit dimengerti”. Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 18 Ayat
(1) dan Ayat (2) maka Pasal 18 Ayat (3) Undang-undang Perlindungan Konsumen
menentukan bahwa klausula tersebut batal demi hukum. Atas kebatalan demi hukum
tersebut maka Pasal 18 Ayat (4) mewajibkan para pelaku usaha untuk menyesuaikan
klausula baku yang bertentangan dengan Undang-undang Perlindungan Konsumen.
Jika ada yang perlu dikhawatirkan
dengan kehadiran perjanjian baku, tidak lain karena dicantumkanya klausula
eksonerasi (exemption clause) dalam perjanjian tersebut. Klausula
eksonerasi adalah klausula yang mengandung kondisi membatasi, atau bahkan
menghapus sama sekali tanggung jawab yang semestinya dibebankan kepada pihak
produsen/penyalur produk (penjual). Klausula oksonerasi banyak ditemukan dalam
perjanjian baku sebagai klausula tambahan, kadang juga dibuat terpisah dari
perjanjian yang ada dengan menggunakan font huruf kecil sehingga sering
kali lessee akan malas untuk membacanya atau tidak mengetahui adanya
klausula eksonerasi itu sendiri. Namun demikian tidak semua perjanjian baku
terdapat klausula eksonerasi.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen juga tidak mengenal adanya istilah klausula
eksonerasi, yang ada adalah klausula baku sebagai mana terdapat dalam Pasal 1
butir (10) yang hanya menekankan pada prosedur pembuatanya yang bersifat
sepihak bukan menjelaskan mengenai isinya. Sedangkan klausula eksonerasi tidak
sekedar mempersoalkan prosedur pembuatanya, melainkan juga isinya yang bersifat
pengalihan kewajiban atau tanggung jawab pelaku usaha. Dengan demikian klausula
baku tidaklah sama dengan klausula eksonerasi.
Secara umum, klausula eksonerasi
tidak dikenal dalam peraturan perundang-undangan sehingga ketentuan yang
membatasi klausula eksonerasi adalah Pasal 1337 KUHPerdata, yang menentukan
bahwa: “Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau
apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum”.
Mengingat posisi nasabah (selanjutnya disebut konsumen) yang
lemah, maka harus dilindungi oleh hukum. Salah satu sifat sekaligus tujuan
hukum itu adalah memberikan pengayoman (perlidungan) kepada masyarakat. Secara
universal, berdasarkan berbagai hasil penelitian dan pendapat para pakar,
ternyata konsumen pada umumnya berada pada posisi yang lebih lemah dalam
hubungannya dengan pengusaha, baik secara ekonomis, tingkat pendidikan, maupun
kemampuan atau daya saing atau daya tawar. Kedudukan konsumen ini, baik yang
bergabung dalam suatu organisasi apalagi individu, tidak seimbang dibandingkan
dengan kedudukan pengusaha. Oleh sebab itu, untuk menyeimbangkan kedudukan
tersebut dibutuhkan perlindungan terhadap konsumen secara umum.
Di Belanda, perjanjian baku (standar) dimasukkan
pengaturannya dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang baru. Di situ
dinyatakan bahwa bidang-bidang usaha yang boleh menerapkan perjanjian baku
harus ditentukan dengan peraturan dan perjanjian itu baru dapat ditetapkan,
diubah, atau dicabut setelah mendapat persetujan Menteri Kehakiman. Kemudian
penetapan, perubahan, atau pencabutan itu baru memperoleh kekuatan hukum
setelah mendapat persetujuan Raja/Ratu yang dituangkan dalam berita negara.
Ketentuan lainnya menyatakan bahwa perjanjian baku (standar) ini dapat pula
dibatalkan, jika pihak produsen/penyalur produk (penjual) atau kreditur
mengetahui atau seharusnya mengetahui bahwa pihak konsumen tidak akan menerima
perjanjian tersebut jika ia mengetahui isinya. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) yang berfungsi sebagai umbrella act. Ini berarti, UUPK
merupakan payung yang mengintegritaskan dan memperkuat penegakan hukum di
bidang perlindungan.
Dengan adanya pengaturan terhadap perlindungan konsumen
terutama pada peraturan yang berkaitan dengan klausul baku, sedikit-banyak
menyadarkan masyarakat bahwa mereka sebagai pihak dalam perjanjian memiliki hak
yang (semestinya) sejajar dengan pihak lainnya dalam perjanjian baku.
Apabila diperhatikan dengan seksama, sebenarnya secara
gamblang KUHPerdata telah membatasi penggunaan perjanjian baku, dimana secara
tegas dalam Pasal 1320 jo. 1338
KUHPerdata menginginkan agar pihak kreditur dan debitur berada dalam suatu
posisi yang seimbang yakni dengan berlakunya asas kebebasan berkontrak. Asas
ini membuat nasabah lebih mudah, namun pada kenyataannya karena perjanjian baku
ini timbul karena keadaan yang mengharuskan, maka seringkali hal ini terabaikan
oleh nasabah (debitur).
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dengan
semakin berkembangya dunia bisnis, maka semakin banyak perusahaan yang terjun
ke dunia bisnis. Dengan semakin banyaknyaperusahaan yang terjun ke dunia
bisnis, maka semakin banyak kebutuhandana dan modal yang harus dipenuhi oleh
berbagai perusahaan. Haltersebut mendorong industry bisnis yang bergerak dalam
bidangpembiayaan yang disebut lembaga pembiayaan.
Leasing termasuk ke dalam salah satu bentuk lembaga pembiayaan karenayang
dikatakan dengan lembaga pembiayaan adalah suatu badan usahayang di dalam
melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaandana atau barang modal
dengan tidak menarik dana secara langsung dari masyarakat. Sedangkan leasing
adalah setiap kegiatan pembiayaanperusahaan dalam bentuk penyediaan barang –
barang modal untuk digunakan oleh suatu perusahaan, untuk jangka waktu
tertentu, berdasarkan pembayaran secara berkala disertai dengan hak pilih
(optie) bagiperusahaan tersebut untuk membeli barang – barang modal yang
bersangkutan atau memperpanjang jangka waktu leasing berdasarkan nilaisisa yang
telah disepakati bersama. Oleh karena itu, leasing termasuk salahsatu jenis
lembaga pembiayaan karena leasing membiayai perusahaan dalam bentuk penyediaan
barang modal
Pasal
1320 jo. Pasal 1338 KUHPerdata merupakan dasar yang dapat digunakan konsumen
dalam praktek perjanjian baku yang dilaksanakan oleh lembaga pembiyaan (lessor).
Pola interaksi yang terjadi antara konsumen dengan bank menimbulkan hak dan
kewajiban bagi para pihak. Konsumen juga dapat merujuk pada Undang-undang Nomor
8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sebagai Umbrella act, agar
tidak terjadi pengalihan beban tanggung gugat oleh pihak yang lebih kuat
posisinya.
B.
SARAN
Bagi para pihak yang akan membuat
atau mengadakan suatuperjanjian/kontrak hendaklah terlebih dahulu memahami dan
mengerti mengenai dasar-dasar suatu perjanjian, terlebih lagi mengenai
asas-asas yang berlaku dalam berkontrak sebelum menandatangani
perjanjian/kontrak tersebut sehingga dapat terhindari hal-hal yang tidak
diinginkan dan terlaksananya tujuan melakukan kontrak. Sangat disarankan pula
bagi para pihak minimal membaca dan mengerti akan kontrak yang akan
ditandatanganinya sehingga jelas akan hak dan kewajiban kedua belah pihak yang
mengikatkan dirinya dalam berkontrak. Umumnya hal ini ditujukan kepada pihak
tertentu yang memiliki posisi yang lemah.
Contoh Perjanjian leasing..
PERJANJIAN
LEASING
Pada hari ini Rabu, tanggal 07 November 2012, yang
bertanda tangan di bawah ini :
1. Billy suharto, lahir
di Jakarta pada tanggal 12 Agustus 1969, swasta, warga negara Indonesia,
pemegang KTP nomor 13200569987002, bertempat tinggal jakarta, jalan Gatot
Subroto Nomor 15 jabatanya sebagai Direktur Utama Perseroan yang akan di sebut
di bawah ini.
·
Dalam
hal ini bertindak dalam jabatannya tersebut di atas dan sebagai demikian untuk
dan atas nama Perseroan PT. PRIMA KOMERSIAL LEASING CORP Tbk, berkedudukan di
jakarta, yang didirikan dengan Akta tanggal 15 Oktober 2008 Nomor 10, yang di
buat di hadapan Amir Hamzah,SH.,LL.M., Notaris, di jakarta, berdasarkan Surat
Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia tanggal 11
november 2008 nomor AHU-93124.AH.01.02, Tahun 2008, yang akta pendirian dan
Anggaran dasar mana telah di umumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia
tertanggal 14 Februari 2010 nomor 9, tambahan Berita Negara Republik Indonesia
nomor 325
·
Yang
dalam hal ini disebut sebagai PIHAK PERTAMA selaku LESSOR
2. Ir. Surya Permadi,
lahir di Bandung pada tanggal 25 Februari 1972, Pengusaha, warga Negara
Indonesia, pemegang KTP Nomor 105000501430001, bertempat tinggal di Bandung,
jalan Dago Asri Nomor 2, jabatannya sebagai Direktur Utama Perseroan yang akan
di sebut dibawah ini.
·
Dalam
hal ini bertindak dalam jabatannya tersebut di atas dan sebagai demimkian untuk
dan atas nama Perseroan PT. SERJO COAL SEJAHTERA, berkedudukan di Jakarta, yang
dibuat dihadapan Allifa Dewi,SH.,M.Kn, notaris, di Jakarta, berdasarkan surat
Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia tanggal 20
Agustus 2008 Nomor AHU-93166.AH.01.02, Tahun 2008, yang akta pendirian dan
Anggaran dasar mana telah di umumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia
tertanggal 21 Juni 2010 nomor 7, tambahan Berita Negara Republik Indonesia
nomor 645
·
Yang
dalam hal ini disebut sebagai PIHAK KEDUA selaku LESSEE
Para pihak lebih
dahulu menerangkan :
Bahwa PIHAK PERTAMA
adalah Perseroan Terbatas yang bergerak di bidang penyertaan barang-barang
modal, dan PIHAK KEDUA adalah Perseroan Terbatas yang bergerak di bidang
pertambangan.
Bahwa PIHAK KEDUA
membutuhkan peralatan untuk pertambangan batubara (Coal Mining Equipment) yang
berupa peralatan berat (Heavy Equipment) dan dump truck sebanyak 4 unit dengan
total jumlah harga keseluruhan sebedar p. 11.972.250.000,- (U$ 1.275.000) bahwa
PIHAK PERTAMA memberikan leasing barang-barang tersebut di atas kepada PIHAK
KEDUA melalui kantor cabang di Samarinda, yang merupakan mitra kerja yang telah
menjadi langganannya selama 4 tahun, terhitung sejak tahun 2008. Maka berhubung
dengan segala sesuatu yang di uraikan di atas para pihak telah bersepakat bahwa
leasing ini di lakukan dan di terima dengan peraturan dan perjanjian-perjanjian
sebagai berikut :
PASAL
1
DEFINISI
Perjanjian in adalah
perjanjian Leasing yaitu sewa guna usaha, merupakan perjanjian penyediaan modal
berupa barang-barang modal yang di berikan oleh PIHAK PERTAMA sebagai LESSOR
kepada PIHAK KEDUA sebagai LESSEE, dalam jangka waktu yang ditetapkan dalam
perjanjian ini, selama masa waktu tersebut PIHAK KEDUA membayar uang sewa
kepada PIHAK PERTAMA dengan ketentuan harga dan cara pembayaran yang ditetapkan
dalam perjanjian ini, dan setelah masa jangka waktu berakhir, PIHAK PERTAMA
memberikan hak opsi (Optional) kepada PIHAK KEDUA, untuk memilih meneruskan
jangka waktu sewa atau dapat membeli barang modal tersebut sesuai dengan sisa
pembayaran yang belum di bayarkan, yaitu harga sisa/residu dari objek leasing,
dengan syarat dan ketentuan sserta harga dan cara pembayaran yang diatur dalam
perjanjian ini.
PASAL
2
OBJEK
LEASING
1. Objek Leasing pada
perjanjian yang dilakukan antara PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA merupakan barang
yang sah menurut hukum dan tidak bertentangan dengan Peraturan
Perundan-undangan, kesusilaan, dan ketertiban umum.
2. PIHAK KEDUA
meleasing peralatan berat (Heavy equipment) dan dump truck, dengan rincian
sebagai berikut :
1) Sekop Hidrolik
(Hydraulic Shovel) sebanyak 2 unit, hasil produksi Jepangan dengan merk KABUTO.
2) Buldoser (Bulldozer)
sebanyak 4 unit, hasil produksi Jepang dengan merk TANAKA.
3) Truk Penimbun (Dump
Truck) sebanyak 4 unit, hasil produksi Jepang dengan merk HINO.
PASAL
3
HARGA
DAN CARA PEMBAYARAN
1. Para Pihak telah
setuju dan sepakat bahwa harga objek leasing, dengan rincian sebagai berikut :
No
|
Keterangan
|
Harga
Per-Unit
|
Jumlah
Unit
|
Total
|
1
|
Sekop Hidrolik (Hydraulic Shovel)
|
Rp.
2.786.125.000,-
|
2
|
Rp.
5.572.250.000,-
|
2
|
Buldoser (Bulldozer)
|
Rp. 900.000.000,-
|
4
|
Rp.
3.600.000.000,-
|
3
|
Truk Penimbun (Dump Truck
|
Rp. 700.000.000,-
|
4
|
Rp.
2.800.000.000,-
|
TOTAL HARGA
KESELURUHAN Rp. 11.972.250.000,- (U$ 1.275.000)
|
2. Dalam harga objek
leasing sudah termasuk asuransi, ongkos dan/atau biaya pengiriman semua
barang-barang tersebut samapai ketempat lokasi site pertambangan yang
bersangkutan yaitu di Kutai Kalimantan Timur.
3. Harga sewa atas
objek leasing adalah sebesar Rp. 159.630.000 (U$ 17.000) per bulan atau
seluruhnya sebesar Rp. 9.577.800.000,- selama 5 (lima) tahun periode pertama.
4. PIHAK KEDUA dapat
memperpanjang jangka waktu sewa untuk 5 tahun periode kedua dengan ketentuan
harga sewa atas objek leasing periode kedua adalah sebesar Rp. 25.000.000,-
perbulaan atau seluruhnya sebesar Rp. 1.500.000.000,- selama 5 (lima) tahun
periode kedua
5. Cara pembayaran
obkej leasing adalah dengan cara kredit dari total keseluruhan harga objek
leasing, yang di bayarkan diawal bulan yaitu pada tanggal 7 disetiap bulannya,
secara tunai setiap bulannya selama 60 bulan, oleh PIHAK KEDUA kepada PIHAK
PERTAMA, atau dengan cara pembayaran alternatif melalui giro bilyet dengan
memberitahukan terlebih dahulu kepada PIHAK PERTAMA.
PASAL
4
HAK
OPSI
1. PIHAK PERTAMA
memberikan hak opsi kepada PIHAK KEDUA untuk memperpanjang jangka waktu sewa
ketika masa jangka waktu sewa 5 tahun setiap periodenya akan berakhir atau
dapat membeli objek leasing dengan membayarkan harga sisa/residu ddari
perlengkapan pertambangan batubara sebesar Rp. 2.394.450.000,-
2. Hak Opsi yang
dimiliki oleh PIHAK KEDUA harus di ajukan kepada PIHAK PERTAMA secara tertulis
terhitung 3 bulan sebelum masa jangka waktu sewa 5 tahun setiap periodenya
berakhir.
PASAL
5
JANGKA
WAKTU
1. Perjanjian Leasing
ini berlaku lima tahun setelah ditandatanganinya perjanjian ini dan akan
berakhir masa leasing dengan sendirinya pada tanggal 7 November 2017, kecuali
diperpanjang dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam perjanjian ini.
2. Perjanjian ini dapat
diperpanjang untuk jangka waktu sewa 5 tahun, setelah berakhirnya masa jangka
waktu sewa 5 (lima) tahun periode pertama, dengan syarat-syarat yang disepakati
oleh kedua belah pihak.
3. PIHAK KEDUA dalam
jangka waktu 3 bulan sebelum masa berakhirnya perjanjian harus menyatakan
kehendaknya secara tertulis apabila berkehendak untuk melakukan perpanjangan
jangka waktu sewa objek leasing dalam perjanjian ini.
4. Setelah masa jangka
waktu sewa beerakhir, PIHAK KEDUA dapat
membeli objek keasing kepada PIHAK PERTAMA, dengan harga Rp. 2.394.450.000,-
harga tersebut merupakan harga sisa/residu dari perlengkapan pertambangan
batubara.
5. Apabila PIHAK KEDUA
tidak memperpanjang jangka waktu sewa maka PIHAK KEDUA dapat membuat perjanjian
leasing yang baru dengan PIHAK PERTAMA, dengan peralatan pertambangan batubara
yang baru.
PASAL
6
JAMINAN
1. PIHAK PERTAMA
memberikan jaminan pada objek leasing yang di sewakan kepada Pihak kedua bahwa
alat-alat berat tersebut adalah merupakan milik sah dari PIHAK PERTAMA dan
tidak ada orang atau pihak lain yang turut memilikinya
2. PIHAK PERTAMA
memberikan jaminan selama perjanjian ini berlangsung kepada Pihak Kedua
terhadap objek leasing yang berkaitan dalam hal peralatan tersebut tidak dapat
dioperasikan sebagaimana mestinya, maka ongkos pengembalian barang-barang
tersebut, serta biaya pengacara untuk menyelesaikan perkara tersebut yang
dinilai 20% ditanggung oleh PIHAK PERTAMA.
3. Apabila terjadi
perubahan kepemilikan terhadap objek leasing tersebut selama jangka waktu sewa,
PIHAK KEDUA tetap dapat menikmati hak sewa sampai berakhirnya perjanjian ini.
PASAL
7
HAK
DAN KEWAJIBAN PIHAK PERTAMA
1.
PIHAK
PERTAMA wajib menyerahkan objek leasing tersebut seutuhnya setelah PIHAK KEDUA
menandatangani Surat Perjanjian ini dan membayar uang sewa bulan pertama,
sebagaimana sudah disetujui dan disepakati sebelumnya.
2.
PIHAK
PERTAMA wajib bertanggung jawab atas objek leasing yang di sewakan kepada Pihak
Kedua, seuai dengan kewajiban yang di atur dalam perjanjian ini.
3.
PIHAK
PERTAMA wajib menyerahkan objek leasing tersebut kepada PIHAK KEDUA meliputi
segala sesuatu yang menjadi perlengkapannya serta dimaksudkan bagi penggunanya
yang tetap, selama jangka waktu masa sewa.
4.
PIHAK
PERTAMA wajib menyerahkan objek leasing tersebut meliputi segala sesuatu yang
menjadi perlengkapannya serta dimaksudkan bagi penggunanya yang tetap, beserta
surat-surat bukti kepemilikan, setelah PIHAK KEDUA menggunakan hak opsi untuk
membelli objek leasing kepada PIHAK PERTAMA, dan membayarkan sejumlah uang yang
sebagaiaman di atur dengan syarat-syaratdan ketentuan dalam perjanjian ini.
5.
PIHAK
PERTAMA berkewajiban menanggung biaya
asuransi terhadap pengalapan/pengiriman dan juga menanggung biaya pengiriman,
objek leasing samapi ketempat lokasi pengoperasian yaitu site pertambangan yang
bersangkutan.
6.
PIHAK
PERTAMA berkewajiban menyediakan serta mengirimkan instruktur yang akan
memberikan kemahiran dan pemahaman bagaiaman objek leasing tersebut
dioperasikan kepada para pekerja yang akan mengoperasikannyan.
7.
PIHAK
PERTAMA berhak menerima pembayaran secara lunas terhadap objek leasing, sesuai
dengan ketentuan dan cara pembayaran yang bagaiaman telah di sepakati dan
disetujui sebelumnya oleh kedua belah pihak.
8.
PIHAK
PERTAMA berhak melakukan pengecekan terhadap objek leasing tersebut selama
disewakan dengan terlebih dahulu memberitahukan kepada PIHAK KEDUA.
9.
Apabila
Piak Kedua tidak dapat melunasi pembayaran setiap bulannya, maka PIHAK PERTAMA
dapat memberikan surat teguran pelunasan tagihan disetiap keterlambatan waktu
pembayaran.
10. Pada saat berakhirnya
perjanjian ini, PIHAK KEDUA harus menyerahkan kembali objek leasing dalam
keadaan yang baik dan terpelihara kepada PIHAK PERTAMA,
PASAL
8
HAK
DAN KEWAJIBAN PIHAK KEDUA
1.
PIHAK
KEDUA berhak atas objek leasing yang disepakati dan disetujui sebelumnya sesuai
dengan harga, jaminan, dan cara pembayaran yang telah disepakati dan disetujui
dalam perjanjian ini.
2.
PIHAK
KEDUA berhak atas pembinaan instruktur yang di berikan oleh PIHAK PERTAMA
sebelum penggunaan dan pengoperasian terhadap objek leasing yang sebagaimana
telah disepakati dan disetujui
3.
PIHAK
KEDUA wajib membayar harga sewa terhadap objek leasing selama jangka waktu
sewa, pada waktu, tempat, dan cara pembayaransebagaimana ditetapkan menurut
perjanjian ini.
4.
PIHAK
KEDUA berhak atas opsi untuk meneruskan/memperpanjang hak guna serwa atau
membeli objek leasing kepada PIHAK PERTAMA, dengan ketentuan, syarat-syarat,
harga dan cara pembayaran sebagimana di tetapkan menurut perjanjian ini.
5.
Segala
kerusakan dari objek leasing menjadi tanggungan sepenuhnya dari PIHAK KEDUA
kecuali kerusakan yang ditimbulkan bukan oleh PIHAK KEDUA (Force majuer)akan
ditanggung secara bersama oleh kedua belah pihak sebagaimana yang disepakati
6.
Selama
perjanjian ini berlangsung, PIHAK KEDUA tidak diperkenankan untuk memindahkan
hak guna sewanya sebagian ataupun seluruhnya kepada pihak lain tanpa
persetujuan tertulis dari PIHAK PERTAMA.
7.
PIHAK
KEDUA berhak untuk meminta perpanjangan jangka waktu masa sewa kepada PIHAK
PERTAMA sesuai dengan ketentuan dan syarat-syarat yang diatur dalam perjanjian
ini.
PASAL
9
FORCE
MAJEURE
Dalam hal ini,
kejadian-kejadian yang di sebabkan oleh bencana alam, dan kejdian tersebut
tidak pernah terduga oleh para pihak sebelumnya akan adanya peristiwa tersebut,
maka seyogyanya hal tersebut harus sudah di sepakati di antara para pihak.
PASAL
10
SANKSI
DAN DENDA
1.
HAK
KEDUA yang tidak dapat menyelesaikan pembayaran setiap bulannya sesuai dengan
waktu dan cara pembayaran, maka pihak kedua di kenakan denda sebesar
2.000.000,-/hari terhitung sejak setelah tanggal 7 di setiap awal bulan.
2.
Apabila
PIHAK KEDUA tetap tidak dapat menyelesaikan pembayaran hingga 6 bulan
berturut-turut maka PIHAK PERTAMA dapat menahan dan/atau menarik kembali objek
leasing dibawah penguasaannya hingga sisa pembayaran dapat di lunasi.
3.
Apabila
objek leasing selama proses penahanan oleh PIHAK PERTAMA melebihi selama waktu
3 bulan, maka PIHAK PERTAMA dapat menyelesaikan masalah ini dengan cara-cara
yang di atur didalam perjanjian ini.
4.
Apabila
saat berakhirnya perjanjian ini, PIHAK KEDUA tidak melaksanakan kewajibannya
sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 dan PIHAK KEDUA tidak menyatakan kehendaknya
untuk memperpanjang perjanjian sebagaimana di maksud dalam pasal 4 dan pasal 8,
maka untuk setiap keterlambatan tidak memperpanjang jangka waktu sewa setelah
masa jangka waktu sewa berakhir, maka PIHAK KEDUA akan dikenakan denda sebesar
Rp. 5.000.000/hari, dan denda tersebut dapat di tagih seketika dancsekaligus
lunas oleh PIHAK PERTAMA
5.
Apa
bila keterlambatan terus berlangsung hingga 30 hari sejak berakhirnya
perjanjian, maka PIHAK KEDUA memberi kuasa kepada PIHAK PERTAMA untuk mengambil
objek leasing atas biaya PIHAK KEDUA dan bilamana perlu dengan bantuan pihak
kepolisian setempat.
PASAL
11
BERAKHIRNYA
PERJANJIAN
Perjanjian ini akan
berakhir apabila masa jangka waktu sewa telah berakhir sebagaimana tercantum
dalam pasal 5, maupun kedua belah pihak telah melaksanakan hak dan kewajiban
yang tercantum dalam pasal 7 dan pasal 8 sesuai dengan kesepakatan sebelumnya.
PASAL
12
PENYELESAIAN
SENGKETA
1. Apabila terjadi
sengketa atas isi dan pelaksanaan perjanjian ini, kedua belah pihak akan
menyelesaikannya secara musyawarah.
2. Apabila penyelesaian
secara musyawarah tidak berhasil, maka kedua belah pihak sepakat untuk memilih
domisil hukum dan tetap di kantor Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
PASAL
13
AMANDEMENA
Apabila ada suatu
perubahan yang belum di atur sebelumnya
dalam kesepakatan para pihak atau belum di atur dalam surat perjanjian ini maka
akan di musyawarahkan lebih lanjut oleh pihak dan hasil dari musyawarah
tersebut akan di tuangkan dalam addendum yang tak terpisahkan dari perjanjian
ini.
PASAL
14
LAIN-LAIN
Surat Perjanjian
Leasing ini bermeterai Rp. 6.000,- dan rangkap 2 (dua), yang masing-masing
memiliki kekuatan hukum yang sama.
Demikian perjanjian
ini disetujui dan dibuat, serta ditandatangani oleh kedua belah pihak dengan
dihadiri saksi-saksi yang di kenal oleh kedua belah pihak.
Pihak Pertama
(Ucok Finance)
|
|
Jakarta,
07 Nevember 2008
Pihak
Kedua
(Butet Spd)
|
- Putra Zhuleha, S.H
- Merana galau, S.H
|
SAKSI-SAKSI
|
- Rudolof Kerupuk, S.E
- Dr. Sukamto Hare, S.T
|