Minggu, 09 Maret 2014

Perjanjian Leasing



ANALISA PERJANJIAN LEASING DI TINJAU DARI PASAL 1320 KUHPerdata DAN PERJANJIAN BAKU

By: Agusman Zai, SH
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Pamulang - Banten




KATA PENGANTAR


Segala puji hanya milik Allah SWT. Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada Rasulullah SAW. Berkat limpahan dan rahmat-Nya penyusun mampu menyelesaikan tugas makalah ini guna memenuhi tugas mata kuliah Hukum Perjanjian Kontrak.
Makalah ini disusun agar pembaca dapat mengetahui apa itu Leasing yang sebenarnya, yang kami sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber. Makalah ini disusun dengan banyak rintangan,baik itu datangnya dari diri penyusun maupun dari luar. Namun penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi ini tidak lain berkat bantuan, dorongan, dan bimbingan orang tua, dengan penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari Tuhan akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.
Penyusun Juga mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing yang telah memberi petunjuk dalam mencari bahan untuk menyelesaikan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi sumbangan pemikiran kepada pembaca. Saya sadar bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna.

Pamulang, 17 Januari 2014



BAB I
PENDAHULUAN
A.      LATAR BELAKANG
Pembangunan ekonomi sebagai bagian dari pembangunan nasional,merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara RepublikIndonesia Tahun 1945. Dalam rangka bertambah meningkatnya pembangunan nasional yang bertitik berat pada bidang ekonomi, yang para pelakunya meliputi Pemerintah maupun masyarakat sebagai orang-perseorangan dan badan hukum, sangat diperlukan dana dalam jumlah yang sangat besar, sehingga dengan meningkatnya kegiatan pembangunan tersebut, maka meningkat pula keperluan akan tersedianya dana yang sebagian besar diperoleh melalui perkreditan.
Kegiatan pinjam-meminjam uang atau yang lebih dikenal dengan istilah kredit dalam praktek kehidupan sehari-hari bukanlah merupakan sesuatu yang asing lagi, bahkan istilah kredit ini tidak hanya dikenal oleh masyarakat perkotaan, tetapi juga sampai pada masyarakat di pedesaan. Kredit umumnya berfungsi untuk memperlancar suatu kegiatan usaha, dan khususnya bagi kegiatan perekonomian di Indonesia sangat berperan penting dalam kedudukannya, baik untuk usaha produksi maupun usaha swasta yang dikembangkan secara mandirikarena bertujuan meningkatkan taraf kehidupan bermasyarakat.
Salah satu sarana yang mempunyai peran strategis dalam pengadaan dana adalah lembaga perbankan, yang telah membantu pemenuhan kebutuhan dana bagi kegiatan perekonomian dengan memberikan pinjaman uang antara lain melalui kredit perbankan, yaitu berupa perjanjian kredit antara kreditur sebagai pihak pemberi pinjaman atau fasilitas kredit dengan debitur sebagai pihak yang berhutang. Pasal 3 dan 4 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan menyebutkan bahwa fungsi utama perbankan Indonesia yaitu sebagai penghimpun dan penyalur dana dari masyarakat yang bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional kearah peningkatan kesejahteraan rakyat. Dalam melakukan usahanya tersebut, bank menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan atau dalam bentuk lain yang dipersamakan dengan itu. Dalam hal ini, bank juga menyalurkan dana dari masyarakat dengan cara memberikan kredit dalam bentuk usaha kredit perbankan.

Peta perekonomian global yang mendobrak batas-batas wilayah negara, sistem pasar dan model investasi menjadi acuan seberapa besar potensi laba dan resiko dari suatu usaha yang akan diadakan oleh investor.
Liberalisasi perdagangan tidak hanya menjadi persaingan anatara komoditi andalan, tetapi juga merupakan persaingan dibidang jasa, pada kondisi sepereti ini yang menjadi pertimbangan dari konsumen adalah tingkat efisiensi, sedangkan produsen /pengusaha adalah tingkat keamanan dari suatu investasi modal yang diselenggarakan.
Lembaga pembiayaan leasing dibentuk berdasarkan surat keputusan bersama (SKB) Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor.Kep.-122/MK/IV/2/1974, Nomor.32/M/SK/2/1974, 30/Kpb/I/1974 tertanggal 7 Februari 1974, tentang perizinan usaha leasing.
Perusahaan pembiayaan leasing merupakan perusahaan pembiayaan yang masih relatif baru, pada awal perkembangannya usaha leasing dipacu oleh pemerintah dalam rangka mendorong perkembangan dunia usaha dengan memberikan beberapa fasilitas anatara lain dengan memberikan penundaan pembayaran perpajakan , sehingga usaha leasing berkembang dengan sangat maju dan pesat.
Dalam konteks lembaga leasing (sewa guna usaha) itu sendiri menjadi perdebatan apakah lembagta jual beli, sewa beli, jual beli dengan angsuran atau sewa menyewa dengan opsi membeli, hal tersebut berkaitan erat dengan hak kebendaan yang pada salah satu pihak menyangkut batas-batas hak dan tanggung jawabnya.
Fasilitas yang diadakan oleh perusahaan leasing (sewa guna usaha) sebagai perusahaan pembiayaan sangat meringankan konsumen yang kekurangan modal untuk membeli alat pendukung usaha, sehingga leasing menjadi yang sangat solutif.
Leasing (sewa guna usaha) sebagai lembaga pembiayaan dalam sistem kerjanya akan menghubungkan kepentingan dari beberapa pihak yang berbeda, yaitu :
1.    Lessor adalah pihak leasing itu sendiri sebagai pemilik modal, yang nantinya akan memberikan modal alat atau membeli suatu barang.
2.    Lessee adalah nasabah atau perusahaan yang bertindak sebagai pemakai peralatan/barang yang akan di leased atau atau yang akan disewakan pihak penyewa/lessor.
3.    Vendor atau leveransir atau disebut supplier, sebagai pihak ketiga penjual suatu barang yang akan dibeli oleh lessor untuk disewakan kepada lessee.
Hubungan lessor dan lessee adalah hubungan timbal balik , menyangkut pelaksanaan kewajiban dan peralihan suatu hak atau tuntutan kewajiban dari kenikmatan menggunakan fasilitas pembiayaan, untuk itu antara lessor dan lessee dibuat perjanjian financial lease /kontrak leasing.
Bagi lessor keuntungan yang hendak dicapai dalam perjanjian financial lease dengan lessee semata-mata bertumpu pada terciptanya kepastian hukum terhadap perjanjian kontrak tentang serankaian pembayaran oleh lessee atas penggunaan aset yang menjadi objek lease, termasuk pengakuan lessee tentang penguasan objek oleh lessee yang kepemilikannya dipegang oleh lessor, sehingga melahirkan hak secara hukum bagi lessor bila terjadi wanprestasi oleh lessee untuk menyita objek lessee. Sedangkan kerugiannya dapat berupa :
a.         Sebagai pemilik, lessor mempunyai resiko yang yang lebih beasr dari pada lessee sehubungan dengan barang lease maupun dengan kegiatan operasionalnya, yaitu adanya tanggung jawab atas tuntutan pihak ketiga jika terjadi kecelakaan ataupun kerusakan atas barang orang lain yang disebabkan oleh lease property tersebut.
b.        Pihak lessor walaupun statusnya sebagai pemilik dari lease property tetapi tidak bisa melakukan penuntututan (claim) kepada pabrik/suppliernya secara langsung, tindakan tersebut harus dilakukan oleh lessee sebagai pemakai barang.
c.         Sebagai pemilik barang , lessor secara hukum harus bertanggung jawab atas pembayaran beberapa kewajiban pajak tertentu.
d.        Walaupun lessor mempunyai hak secara hukum untuk menjual leased property, khususnya pada akhir periode lease, lessor belum dapat yakin bahwa barang yang bersangkutan bebas dari ikatan seperti liens (gadai), atau kepentingan-kepentingan lainnya.
Bagi lessee, keuntungan yang hendak dicapai dalam perjanjian financial lease dengan leasing/lessor adalah :
  1. Capital saving, yakni ia tidak perlu menyediakan dana besar , maksimum hanya down payment (uang muka) yang biasanya jumlahnya banyak.
  2. Tidak diperlukan adanya jaminan (agunan).
  3. Terhindar dari resiko.
  4. Masih tetap mempunyai kesempatan untuk meminjam uang dari sumber-sumber lain sesuai dengan kredit line yang dimiliki.
  5. Mempunyai hak pilih (option rights).
Penjelasan tentang tidak diperlukannya jaminan karena konsep dari usaha leasing (sewa guna usaha) adalah pinjaman modal usaha dan jaminan kedudukannya dalam perjanjian leasing menjadi ketentuan prinsipil, dasar pemikiran dari konsep leasing tidak menghilangkan fungsi jaminan sebagai fungsi modal dalam usaha leasing/lessee, hal tersebut yang menjadi penekanan bahwa jaminan dalam penerapan perjanjian leasing sangat fleksibel.


BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian Leasing
Perusahaan sewa guna usaha di Indonesia lebih dikenal dengan nama Leasing. Kegiatan utamanya adalah bergerak di bidang pembiayaan untuk keperluan barang-barang modal yang diinginkan oleh nasabah. Pembiayaan yang dimaksud jika seorang nasabah membutuhkan barang-barang modal seperti peralatan kantor atau mobil dengan cara disewa atau dibeli secara kredit dapat diperoleh diperusahaan leasing. Pihak Leasing dapat membiayai keinginan nasabah dengan perjanjian yang telah disepakati kedua pihak.
Perusahaan Leasing dapat diselenggarakan oleh atau badan usaha yang berdiri sendiri. Keterbatasan perusahaan leasing adalah tidak boleh melakukan kegiatan yang dilakukan oleh bank seperti memberikan simpanan dan kredit dalam bentuk uang.
Pengertian sewa guna usaha secara umum adalah perjanjian antara lessor (perusahaan leasing) dengan lessee (nasabah) di mana pihak lessor memyediakan barang dengan hak penggunaan oleh lessee dengan imbalan pembayaran sewa untuk jangka waktu tertentu.
Sedangkan pengertian sewa guna usaha sesuai dengan keputusan Menteri Keuangan No. 1169/KMK.01/1991 adalah “kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal, baik secara sewa guna usaha dengan hak opsi (finance lease) maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease) untuk digunakan oleh lessee selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala”. Yang dimaksud dengan finance lease adalah kegiatan sewa guna usaha dimana lessee pada akhir masa kontrak mempunyai hak opsi untuk membeli objek sewa guna usaha berdasarkan nilai sisa yang disepakati. Sebaliknya,operating lease tidak mempunyai hak opsi untuk membeli objek sewa guna usaha.
a.       Ketentuan Leasing
Kegiatan Leasing secara remi diperbolehkan beroperasi di indonesia setelah keluar surat keputusan bersama antara Menteri Keuangan,Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan Nomor Kep. 122/MK/IV/2/1974, Nomor 32/M/SK/2/74 dan Nomor 30/Kpb/I/74 Tanggal 7 Februari 1974 Tentang Perizinan Usaha Leasing di Indonesia.
Wewenang untuk memberikan usaha Leasing di keluarkan oleh Menteri Keuangan berdasarkan Surat keputusan Nomor 649/MK/IV/5/1974 Tanggal 6 Mei 1974 yang mengatur mengenai ketentuan tata cara perizinan dan kegiatan usaha leasing di Indonesia.
Lembaga Pembiayaan Menurut ketentuan ini dimungkinkan untuk melakukan salah satu dari kegiatan pembiayaan seperti :
1. Sewa guna usaha ( Leasing )
2. Modal ventura ( venture capital )
3. Anjak Piutang ( factoring )
4. Pembiayaan konsumen ( consumer finance )
5.Kartu Kredit ( credit card )
Pemberian izin untuk melakukan usaha-usaha pembiayaan seperti di atas, terlebih dulu harus memperoleh izin dari Menteri Keuangan.
b.      Pihak-pihak yang terlibat
Adapun pihak-pihak yang terlibat dalam proses pemberian fasilitas leasing adalah sebagai berikut :
1.         Lessor
Merupakan perusahan leasing yang membiayai keinginan para nasabahnya untuk memperoleh barang-barang modal.
2.         Lessee
Adalah nasabah yang mengajukan permohonan leasing kepada lessor untuk memperoleh barang modal yang di inginkan.
3.         Supplier
Yaitu pedagang yang menyediakan barang yang akan di leasing sesuai perjanjian antara lessor dengan lessee dan dalam hal ini suplier juga dapat bertindak sebagai lessor.
4.         Asuransi
Merupakan perusahaan yang akan menanggung resiko terhadap perjanjian antara lessor dengan lessee. Dalam hal ini lessee dikenakan biaya asuransi dan apabila terjadi sesuatu, maka perusahaan akan menanggung resiko sebesar sesuai dengan perjanjian terhadap barang yang di leasingnya.



B.       Mekanisme Leasing
1)        Lesse menghubungi pemasok untuk pemilihan dan penentuan jenis barang, spesifikasi, harga, jangka waktu penagihan, dan jaminan purna jual atas barang yang akan disewa.
2)         Lesse melakukan negoisasi dengan lessor mengenai kebutuhan pembiayaan barang modal. Dalam hal ini, lessee dapat meminta lease quotation yang tidak mengikat dari lessor. Dalam quotation terdapat syarat-syarat pokok pembiayaan leasing, antara lain: keterangan barang, harga barang, cash security deposit, residual value, asuransi, biaya administrasi, jaminan uang sewa ( lease rental ), dan persyaratan-persyaratan lainnya.
3)        Lessor mengirimkan letter of offer atau comitment letter kepada lessee yang berisi syarat-syarat pokok persetujuan lessor untuk membiayaai barang modal yang dibutuhkan, lessee menandatangani dan mengembalikannya kepaada lessor.
4)        Penandatangan kontrak leasing setelah semua persyaratan dipenuhi lessee, dimana kontrak tersebut mencakup hal-hal: pihak-pihak yang terlibat, hak milik, jangka waktu, jasa leasing, opsi bagi lessee, penutupan asuransi, tanggung jawab dan objek leasing, perpajakan jadwal pembayaran angsuran sewa dan sebagainya.
5)        Pengiriman order beli kepada pemasok disertai instruksi pengiriman barang kepada lessee sesuai dengan tipe dan spesifikasi barang yang telah disetujui.
6)        Pengiriman barang dan pengecekan barang oleh lessee sesuai pesanan serta menandatangani surat tanda terim dan perintah bayar selanjutnya diserahkan
7)        Penyerahan dokumen oleh pemasok kepada lessor termasuk faktur dan bukti-bukti kepemilikan barang lainnya.
8)        Pembayaran oleh lessor kepada pemasok
9)        Pembayaran sewa ( lease payment ) secara berkala oleh lessee kepada lessor selama masa leasing yang seluruhnya mencakup pengembalian jumlah yang dibiayai beserta bunganya.
C.      Teknik-Teknik Pembiayaan Leasing
Teknik pembiayaan leasing dapat dibagi dalam dua kategori, yaitu finance lease dan operating lease.
a.       Finance Lease
Dalam sewa guna usaha ini, perusahaan sewa guna (lessor) adalah pihak yang membiayai penyediaan barang modal. Lessee biasanya memilih barang modal yang dibutuhkan dan, atas nama perusahaan sewa guna usaha, sebagai pemilik barang modal tersebut, melakukan pemesanan, pemeriksaan serta pemeliharaan barang modal yang menjadi objek transaksi sewa guna usaha.
Dalam praktinya, finance lease dapat dibagi dalam beberapa bentuk transaksi antara lain sebagai berikut :
1) Direct finance lease
Dalam transaksi direct finance lease, pihak lessor membeli barang modal atas permintaan dari lessee dan langsung disewagunausahakan kepada lessee. Lessee dapat terlibat dalam proses pembelian barang modal dari pemasok.
2) Sale and lease back
Pihak lessee menjual barang modalnya kepada lessor untuk kemudian dilakukan kontrak sewa guna usaha atas barang tersebut dengan jangka waktu yang disepakati bersama. Metode transaksi ini membantu lessee yang mengalami kesulitan modal kerja.
3) Leveraged lease
Dalam proses sewa guna ini, pihak yang terlibat adalah lessor, lessee dan kreditor jangka panjang dalam membiayai objek leasing. Pihak kreditor inilah yang biasanya justru memberikan porsi yang besar dalam pembiayaan. Kreditor jangka panjang, biasanya lembaga keuangan misalnya bank yang akan menyediakan pembiayaan sebesar 60% - 80% yang disebutkan leverage debt without recourse kepada pihak leassor. Apabila pihak lessee mengalami default dan tidak mampu mengangsur, lessor tidak ikut bertanggungjawab kepada bank.
4) Syndicated lease
Metode ini terjadi apabila pembiayaan sewa guna usaha dilakukan oleh lebih dari satu lessor. Kerja sama antara lessor ini didasarkan pada pertimbangan risiko atau objek leasing yang membutuhkan dana dalam jumlah besar.
5) Vendor Program
Vendor program adalah suatu metode penjualan yang dilakukan oleh dealer kepada konsumen dengan mendapatkan fasilitas leasing. Lessor akan membayar objek leasing kepada vendor/dealer dan selanjutnya lessee akan membayar angsuran secara periodik langsung kepada lessor atau melalui dealer. 
b.      Operating Lease Dalam teknik operating lesae, pihak pemilik objek leasing atau leasor membeli barang modal dan disewagunausahakan kepada lesee. Pembayaran periodik yang dilakukan oleh lessee tidak mencangkup biaya yang dikeluarkan oleh lessor untuk mendapatkan barang modal tersebut dan bunganya. Lessor mengharapkan keuntungan dari penjualan barang modal yang disewagunausahakan. Lessor dapat juga memperoleh sumber penghasilan dari perjanjian sewa sewa guna usaha yang lain.
Operating lease dapat juga disebut leasing biasa yaitu satu perjanjian kontrak antara leasor dengan lessee, dengan catatan bahwa :
Ø  Lessor sebagai pemilik objek leasing menyerahkannya kepada pihak lessee untuk digunakan dengan jangka waktu relatif lebih pendek dari umur ekonomis barang modal tersebut.
Ø  Lessee atas penggunaan barang modal tersebut, membayar sejumlah sewa secara berkala kepada leasor yang jumlahnya tidak meliputi jumlah keseluruhan biaya pemerolehan barang tersebut beserta bunganya. Hal ini disebut nonfull pay out lease.
Ø  Lessor menanggung segala risiko ekonomis dan pemeliharaan atas barang-barang tersebut.
Ø  Lessee pada ahir kontrak harus mengembalikan objek leasing pada lessor.
Ø  Lessee dapat membatalkan perjanjian kontrak leasing sewaktu-waktu (cancelable).

1.        Analisis Terhadap Asas-Asas Perjanjian dalam KUHPerdata
Pengertian “asas” atau “prinsip” yang dalam bahasa Belanda disebut “benginsel” atau “principle” (bahasa Inggris) atau dalam bahasa Latin disebut “principium” (“primus” artinya pertama dan “capere” artinya mengambil atau menangkap), secara leksikal berarti sesuatu yang menjadi dasar tumpuan berfikir atau bertindak atau kebenaran yang menjadi pokok dasar berfikir, bertindak, dan sebagainya4.
Bellefroid berpendapat bahwa, asas hukum umum adalah norma dasar yang dijabarkan dari hukum positif dan yang oleh ilmu hukum tidak dianggap berasal dari aturan-aturan yang lebih umum. Asas hukum umum itu merupakan pengendapan hukum positif dalam suatu masyarakat. Sedangkan Sudikno sendiri berpendapat bahwa asas hukum atau prinsip hukum bukanlah peraturan hukum konkrit, melainkan merupakan pikiran dasar yang umum sifatnya atau merupakan latar belakang dari peraturan yang konkrit yang terdapat dalam dan dibelakang setiap sistim hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat umum dalam peraturan konkrit tersebut.
Asas-asas hukum ini bersifat sangat umum dan menjadi landasan berfikir, yaitu dasar idiologis aturan-aturan hukum. Beberapa asas tersebut bersifat samar-samar dan dengan upaya yang sangat keras dapat dipahami dan diuraikan secara jelas. Asas hukum merupakan sumber bagi sistem hukum yang memberi inspirasi mengenai nilai-nilai etis, moral dan sosial masyarakat. Dengan demikian, asas hukum sebagai landasan norma menjadi alat uji bagi norma hukum yang ada, dalam arti norma hukum tersebut pada akhirnya harus dapat dikembalikan pada asas hukum yang menjiwainya. Sedangkan pada asas-asas hukum kontrak, pada dasarnya tidak terpisah satu dengan lainya, namun dalam berbagai hal saling mengisi dan melengkapi. Dengan kata lain masing-masing asas tidak berdiri dalam kesendirianya, tetapi saling melingkupi dan melengkapi keberadaan suatu kontrak8.
Mariam Darus Badrulzaman, dalam disertasinya yang berjudul “Perjanjian Kredit Bank” berpandangan bahwa dalam hubungan bank-nasabah, menempatkan nasabah pada posisi yang lemah sehingga perlu dilindungi melalui campur tangan pemerintah terhadap substansi perjanjian kredit bank.
Sri Gambir Melati Hatta, dalam disertasinya “Beli Sewa sebagai Perjanjian Tak Bernama: Pandangan Masyarakat dan Sikap Mahkamah Agung Indonesia”, menyimpulkan bahwa asas keseimbangan juga dipahami sebagai keseimbangan kedudukan posisi tawar para pihak dalam menentukan hak dan kewajibanya dalam perjanjian. Ketidak seimbangan posisi menimbulkan ketidak adilan, sehingga perlu intervensi pemerintah untuk melindungi pihak yang lemah melalui penyeragaman syarat-syarat perjanjian.
Ahmadi Miru, dalam disertasinya “Prinsip-prinsip Perlindungan Hukum bagi Konsumen di Indonesia”, menyimpulkan bahwa keseimbangan antara konsumen-produsen dapat dicapai dengan meningkatkan perlindungan terhadap konsumen karena posisi produsen lebih kuat dibandingkan dengan konsumen.
Herlien Budiono, dalam disertasinya “Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia, Hukum Perjanjian Berlandaskan Asas-Asas Wigati Indonesia”, menyimpulkan bahwa baik asas-asas hukum kontrak yang hidup dalam kesadaran hukum Indonesia (semangat gotong royong, kekeluargaan, rukun, patut, pantas dan laras) sebagaimana yang tercermin dalam hukum adat maupun asas-asas hukum modern (asas consensus, asas kebebasan berkontrak) sebagaimana yang ditemukan dalam perkembangan hukum kontrak Belanda dalam perundang-undangan, praktik hukum dan yurisprudensi, bertemu dalam satu asas, yaitu asas keseimbangan.
Agus Yudha Hernoko, dalam disertasinya “Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial”, mengunakan istilah Asas Proporsionalitas dalam kontrak yang diartikan sebagai asas yang mendasari pertukaran hak dan kewajiban para pihak sesuai porsinya atau bagianya. Asas proporsionalitas tidak mempermasalahkan keseimbangan (kesamaan) hasil, namun lebih menekankan proporsi pembagian hak dan kewajiban diantara para pihak10. Keadilan dalam berkontrak lebih termanifestasi apabila pertukaran kepentingan para pihak terdistribusi sesuai dengan hak dan kewajibanya secara proporsional. Keadilan tidak selalu berarti semua orang harus selalu mendapat sesuatu dalam jumlah yang sama, tanpa memperhatikan perbedaan-perbedaan yang secara obyektif ada pada setiap individu atau para pihak dalam perjanjian.
Ketidak seimbangan dalam klausula perjanjian baku yang dibuat oleh lessor yang berkedudukan lebih kuat, sering kali nilai keadilan dalam perjanjian tersebut diabaikan karena lessor lebih menonjolkan hak-haknya dan menekankan kewajiban lessee. Dalam hal yang demikian, nampak bahwa unsur keadilan khususnya keadilan distributive yang menghendaki adanya keseimbangan antara kepentingan-kepentingan setiap orang sehingga setiap orang tersebut mendapat apa yang menjadi hak atau jatahnya sesuai jasa atau kemampuanya sebagaimana pendapat Aristoteles, sebagai tujuan hukum tidak dipertimbangkan dalam penyusunan klausula dan pelaksanaan perjanjian baku tersebut.
Sewa Guna Usaha (Leasing) khususnya Financial Lease yang pada dasarnya untuk membantu dan sebagai jalan keluar bagi mereka yang kurang mampu untuk memperoleh barang modal, sebagai wujud keadilan yang berwatak kebajikan (virtue) ternyata menjadi bentuk pengingkaran dari keadilan itu sendiri karena klausula-klausula yang terdapat dalam perjanjian baku tersebut lebih menjamin hak salah satu pihak yaitu lessor sebagai pihak yang membuat perjanjian dan kedudukan ekonominya lebih kuat dalam mewujudkan kebebasan berkontrak menurut pemahamanya sendiri yang tanpa batas, tanpa memperhatikan asas-asas hukum perjanjian yang lain secara benar. Oleh karena itu, dalam praktik dan perkembanganya keadilan dikoreksi dan disandingkan dengan “equity” (kepatutan). Equity tidak bermaksud mengubah atau mengurangi keadilan, melainkan sebatas memberikan koreksi dan atau melengkapi dalam keadaan individu tertentu, kondisi serta kasus tertentu.

2.        Analisis Klausula Baku Menurut UU No.8 Tahun 1999 Tentang Lembaga Pembiayaan.
Syarat sahnya perjanjian telah diatur dalam Bab IV buku III KUHPerdata Pasal 1320, undang-undang memberikan hak kepada setiap orang untuk secara bebas membuat dan melaksanakan perjanjian sepanjang keempat unsur tersebut terpenuhi. Dengan kata lain bahwa, pada dasarnya perjanjian yang dibuat haruslah berdasarkan kesepakatan bebas antara dua pihak atau lebih yang cakap untuk melakukan perbuatan hukum (memenuhi syarat subyektif) untuk melakukan suatu prestasi yang tidak bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku, kepatutan, kesusilaan, ketertiban umum, serta kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat luas (memenuhi syarat obyektif).
Berkaitan dengan perjanjian leasing yang dibuat dalam bentuk perjanjian baku dan masih sangat dibutuhkan sebagai bentuk perjanjian tak bernama karena tidak diatur secara khusus dalam KUHPerdata tetapi terdapat dalam masyarakat yang menghendaki transaksi bisnis cepat, efesien dan efektif, apalagi jika dikaitkan dengan prinsip bahwa “waktu adalah uang”; Salah satu ciri perjanjian baku adalah klausula-klausulanya telah dibuat dan ditentukan oleh salah satu pihak yang lebih dominan, hal tersebut akan sangat merugikan pihak yang kurang dominan. Dalam perjanjian baku juga sudah tidak mungkin lagi untuk melakukan negosiasi atau tawar-menawar, pihak yang kurang dominan hanya memiliki pilihan untuk menerima atau menolak isi perjanjian sehingga tidak atau kurang mencerminkan adanya kesepakatan bebas dari kedua belah pihak. Namun demikian tidaklah dapat dikatakan bahwa kesepakatan tersebut digolongkan sebagai kesepakatan yang cacat kehendak dan bertentangan dengan ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata. Hal tersebut dikarenakan lessee masih mempunyai hak dan pilihan untuk menyetujui atau menolak perjanjian yang diajukan oleh lessor kepadanya.
Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang klausula baku adalah Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dimana dalam Pasal 1 butir (10) menentukan:
Klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.
Sedangkan Undang-undang Perlindungan Konsumen tidak mengenal dan memberikan definisi tentang perjanjian baku itu sendiri. Mariam Darus mengartikan perjanjian baku adalah perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir-formulir.
Sutan Remi mengistilahkan dengan perjanjian standar, sebagai perjanjian yang hampir seluruh klausul-klausulnya distandarkan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan. Adapun yang belum distandarkan hanya beberapa hal, misalnya; yang menyangkut jenis, harga, jumlah, warna, tempat dan beberapa hal yang spesifik dari obyek yang diperjanjikan. Sjahdeni menekankan yang distandarkan bukan formulir perjanjian tersebut, melainkan klausul-klausulnya.
Ketentuan pencantuman klausula baku oleh Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen diatur dalam Bab V yang hanya terdiri atas satu pasal, yaitu pasal 18. Pasal 18 Ayat 1 selengkapnya menentukan:
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:
a.       Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b.      Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
c.       Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
d.      Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
e.       Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
f.       Member hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
g.      Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h.      Menyatakan bahwa konsumen member kuasa kepada pelaku usaha untuk membebankan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
Dengan demikian, pada dasarnya Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen tidak melarang pelaku usaha untuk membuat perjanjian baku yang klausula-klausulanya telah ditetapkan terlebih dahulu oleh salah satu pihak sepanjang perjanjian baku tersebut tidak mencantumkan atau memuat klausula sebagaimana yang dilarang dalam Pasal 18 Ayat (1).
Selanjutnya Pasal 18 Ayat (2) menentukan: “Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak dan bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapanya sulit dimengerti”. Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 18 Ayat (1) dan Ayat (2) maka Pasal 18 Ayat (3) Undang-undang Perlindungan Konsumen menentukan bahwa klausula tersebut batal demi hukum. Atas kebatalan demi hukum tersebut maka Pasal 18 Ayat (4) mewajibkan para pelaku usaha untuk menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan Undang-undang Perlindungan Konsumen.
Jika ada yang perlu dikhawatirkan dengan kehadiran perjanjian baku, tidak lain karena dicantumkanya klausula eksonerasi (exemption clause) dalam perjanjian tersebut. Klausula eksonerasi adalah klausula yang mengandung kondisi membatasi, atau bahkan menghapus sama sekali tanggung jawab yang semestinya dibebankan kepada pihak produsen/penyalur produk (penjual). Klausula oksonerasi banyak ditemukan dalam perjanjian baku sebagai klausula tambahan, kadang juga dibuat terpisah dari perjanjian yang ada dengan menggunakan font huruf kecil sehingga sering kali lessee akan malas untuk membacanya atau tidak mengetahui adanya klausula eksonerasi itu sendiri. Namun demikian tidak semua perjanjian baku terdapat klausula eksonerasi.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen juga tidak mengenal adanya istilah klausula eksonerasi, yang ada adalah klausula baku sebagai mana terdapat dalam Pasal 1 butir (10) yang hanya menekankan pada prosedur pembuatanya yang bersifat sepihak bukan menjelaskan mengenai isinya. Sedangkan klausula eksonerasi tidak sekedar mempersoalkan prosedur pembuatanya, melainkan juga isinya yang bersifat pengalihan kewajiban atau tanggung jawab pelaku usaha. Dengan demikian klausula baku tidaklah sama dengan klausula eksonerasi.
Secara umum, klausula eksonerasi tidak dikenal dalam peraturan perundang-undangan sehingga ketentuan yang membatasi klausula eksonerasi adalah Pasal 1337 KUHPerdata, yang menentukan bahwa: “Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum”.
Mengingat posisi nasabah (selanjutnya disebut konsumen) yang lemah, maka harus dilindungi oleh hukum. Salah satu sifat sekaligus tujuan hukum itu adalah memberikan pengayoman (perlidungan) kepada masyarakat. Secara universal, berdasarkan berbagai hasil penelitian dan pendapat para pakar, ternyata konsumen pada umumnya berada pada posisi yang lebih lemah dalam hubungannya dengan pengusaha, baik secara ekonomis, tingkat pendidikan, maupun kemampuan atau daya saing atau daya tawar. Kedudukan konsumen ini, baik yang bergabung dalam suatu organisasi apalagi individu, tidak seimbang dibandingkan dengan kedudukan pengusaha. Oleh sebab itu, untuk menyeimbangkan kedudukan tersebut dibutuhkan perlindungan terhadap konsumen secara umum.
Di Belanda, perjanjian baku (standar) dimasukkan pengaturannya dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang baru. Di situ dinyatakan bahwa bidang-bidang usaha yang boleh menerapkan perjanjian baku harus ditentukan dengan peraturan dan perjanjian itu baru dapat ditetapkan, diubah, atau dicabut setelah mendapat persetujan Menteri Kehakiman. Kemudian penetapan, perubahan, atau pencabutan itu baru memperoleh kekuatan hukum setelah mendapat persetujuan Raja/Ratu yang dituangkan dalam berita negara. Ketentuan lainnya menyatakan bahwa perjanjian baku (standar) ini dapat pula dibatalkan, jika pihak produsen/penyalur produk (penjual) atau kreditur mengetahui atau seharusnya mengetahui bahwa pihak konsumen tidak akan menerima perjanjian tersebut jika ia mengetahui isinya. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) yang berfungsi sebagai umbrella act. Ini berarti, UUPK merupakan payung yang mengintegritaskan dan memperkuat penegakan hukum di bidang perlindungan.
Dengan adanya pengaturan terhadap perlindungan konsumen terutama pada peraturan yang berkaitan dengan klausul baku, sedikit-banyak menyadarkan masyarakat bahwa mereka sebagai pihak dalam perjanjian memiliki hak yang (semestinya) sejajar dengan pihak lainnya dalam perjanjian baku.
Apabila diperhatikan dengan seksama, sebenarnya secara gamblang KUHPerdata telah membatasi penggunaan perjanjian baku, dimana secara tegas dalam Pasal 1320 jo. 1338 KUHPerdata menginginkan agar pihak kreditur dan debitur berada dalam suatu posisi yang seimbang yakni dengan berlakunya asas kebebasan berkontrak. Asas ini membuat nasabah lebih mudah, namun pada kenyataannya karena perjanjian baku ini timbul karena keadaan yang mengharuskan, maka seringkali hal ini terabaikan oleh nasabah (debitur).


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dengan semakin berkembangya dunia bisnis, maka semakin banyak perusahaan yang terjun ke dunia bisnis. Dengan semakin banyaknyaperusahaan yang terjun ke dunia bisnis, maka semakin banyak kebutuhandana dan modal yang harus dipenuhi oleh berbagai perusahaan. Haltersebut mendorong industry bisnis yang bergerak dalam bidangpembiayaan yang disebut lembaga pembiayaan.
Leasing termasuk ke dalam salah satu bentuk lembaga pembiayaan karenayang dikatakan dengan lembaga pembiayaan adalah suatu badan usahayang di dalam melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaandana atau barang modal dengan tidak menarik dana secara langsung dari masyarakat. Sedangkan leasing adalah setiap kegiatan pembiayaanperusahaan dalam bentuk penyediaan barang – barang modal untuk digunakan oleh suatu perusahaan, untuk jangka waktu tertentu, berdasarkan pembayaran secara berkala disertai dengan hak pilih (optie) bagiperusahaan tersebut untuk membeli barang – barang modal yang bersangkutan atau memperpanjang jangka waktu leasing berdasarkan nilaisisa yang telah disepakati bersama. Oleh karena itu, leasing termasuk salahsatu jenis lembaga pembiayaan karena leasing membiayai perusahaan dalam bentuk penyediaan barang modal
Pasal 1320 jo. Pasal 1338 KUHPerdata merupakan dasar yang dapat digunakan konsumen dalam praktek perjanjian baku yang dilaksanakan oleh lembaga pembiyaan (lessor). Pola interaksi yang terjadi antara konsumen dengan bank menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak. Konsumen juga dapat merujuk pada Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sebagai Umbrella act, agar tidak terjadi pengalihan beban tanggung gugat oleh pihak yang lebih kuat posisinya.

B.     SARAN
Bagi para pihak yang akan membuat atau mengadakan suatuperjanjian/kontrak hendaklah terlebih dahulu memahami dan mengerti mengenai dasar-dasar suatu perjanjian, terlebih lagi mengenai asas-asas yang berlaku dalam berkontrak sebelum menandatangani perjanjian/kontrak tersebut sehingga dapat terhindari hal-hal yang tidak diinginkan dan terlaksananya tujuan melakukan kontrak. Sangat disarankan pula bagi para pihak minimal membaca dan mengerti akan kontrak yang akan ditandatanganinya sehingga jelas akan hak dan kewajiban kedua belah pihak yang mengikatkan dirinya dalam berkontrak. Umumnya hal ini ditujukan kepada pihak tertentu yang memiliki posisi yang lemah.

Contoh Perjanjian leasing..

PERJANJIAN LEASING
Pada hari ini Rabu, tanggal 07 November 2012, yang bertanda tangan di bawah ini :
1.       Billy suharto, lahir di Jakarta pada tanggal 12 Agustus 1969, swasta, warga negara Indonesia, pemegang KTP nomor 13200569987002, bertempat tinggal jakarta, jalan Gatot Subroto Nomor 15 jabatanya sebagai Direktur Utama Perseroan yang akan di sebut di bawah ini.
·         Dalam hal ini bertindak dalam jabatannya tersebut di atas dan sebagai demikian untuk dan atas nama Perseroan PT. PRIMA KOMERSIAL LEASING CORP Tbk, berkedudukan di jakarta, yang didirikan dengan Akta tanggal 15 Oktober 2008 Nomor 10, yang di buat di hadapan Amir Hamzah,SH.,LL.M., Notaris, di jakarta, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia tanggal 11 november 2008 nomor AHU-93124.AH.01.02, Tahun 2008, yang akta pendirian dan Anggaran dasar mana telah di umumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia tertanggal 14 Februari 2010 nomor 9, tambahan Berita Negara Republik Indonesia nomor 325

·         Yang dalam hal ini disebut sebagai PIHAK PERTAMA selaku LESSOR

2.       Ir. Surya Permadi, lahir di Bandung pada tanggal 25 Februari 1972, Pengusaha, warga Negara Indonesia, pemegang KTP Nomor 105000501430001, bertempat tinggal di Bandung, jalan Dago Asri Nomor 2, jabatannya sebagai Direktur Utama Perseroan yang akan di sebut dibawah ini.
·         Dalam hal ini bertindak dalam jabatannya tersebut di atas dan sebagai demimkian untuk dan atas nama Perseroan PT. SERJO COAL SEJAHTERA, berkedudukan di Jakarta, yang dibuat dihadapan Allifa Dewi,SH.,M.Kn, notaris, di Jakarta, berdasarkan surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia tanggal 20 Agustus 2008 Nomor AHU-93166.AH.01.02, Tahun 2008, yang akta pendirian dan Anggaran dasar mana telah di umumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia tertanggal 21 Juni 2010 nomor 7, tambahan Berita Negara Republik Indonesia nomor 645

·         Yang dalam hal ini disebut sebagai PIHAK KEDUA selaku LESSEE
Para pihak lebih dahulu menerangkan :
Bahwa PIHAK PERTAMA adalah Perseroan Terbatas yang bergerak di bidang penyertaan barang-barang modal, dan PIHAK KEDUA adalah Perseroan Terbatas yang bergerak di bidang pertambangan.
Bahwa PIHAK KEDUA membutuhkan peralatan untuk pertambangan batubara (Coal Mining Equipment) yang berupa peralatan berat (Heavy Equipment) dan dump truck sebanyak 4 unit dengan total jumlah harga keseluruhan sebedar p. 11.972.250.000,- (U$ 1.275.000) bahwa PIHAK PERTAMA memberikan leasing barang-barang tersebut di atas kepada PIHAK KEDUA melalui kantor cabang di Samarinda, yang merupakan mitra kerja yang telah menjadi langganannya selama 4 tahun, terhitung sejak tahun 2008. Maka berhubung dengan segala sesuatu yang di uraikan di atas para pihak telah bersepakat bahwa leasing ini di lakukan dan di terima dengan peraturan dan perjanjian-perjanjian sebagai berikut :
PASAL 1
DEFINISI
Perjanjian in adalah perjanjian Leasing yaitu sewa guna usaha, merupakan perjanjian penyediaan modal berupa barang-barang modal yang di berikan oleh PIHAK PERTAMA sebagai LESSOR kepada PIHAK KEDUA sebagai LESSEE, dalam jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian ini, selama masa waktu tersebut PIHAK KEDUA membayar uang sewa kepada PIHAK PERTAMA dengan ketentuan harga dan cara pembayaran yang ditetapkan dalam perjanjian ini, dan setelah masa jangka waktu berakhir, PIHAK PERTAMA memberikan hak opsi (Optional) kepada PIHAK KEDUA, untuk memilih meneruskan jangka waktu sewa atau dapat membeli barang modal tersebut sesuai dengan sisa pembayaran yang belum di bayarkan, yaitu harga sisa/residu dari objek leasing, dengan syarat dan ketentuan sserta harga dan cara pembayaran yang diatur dalam perjanjian ini.
PASAL 2
OBJEK LEASING
1.     Objek Leasing pada perjanjian yang dilakukan antara PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA merupakan barang yang sah menurut hukum dan tidak bertentangan dengan Peraturan Perundan-undangan, kesusilaan, dan ketertiban umum.
2.     PIHAK KEDUA meleasing peralatan berat (Heavy equipment) dan dump truck, dengan rincian sebagai berikut :
1)    Sekop Hidrolik (Hydraulic Shovel) sebanyak 2 unit, hasil produksi Jepangan dengan merk KABUTO.
2)    Buldoser (Bulldozer) sebanyak 4 unit, hasil produksi Jepang dengan merk TANAKA.
3)    Truk Penimbun (Dump Truck) sebanyak 4 unit, hasil produksi Jepang dengan merk HINO.
PASAL 3
HARGA DAN CARA PEMBAYARAN
1.     Para Pihak telah setuju dan sepakat bahwa harga objek leasing, dengan rincian sebagai berikut :

No
Keterangan
Harga Per-Unit
Jumlah Unit
Total
1
Sekop Hidrolik (Hydraulic Shovel)
Rp. 2.786.125.000,-
2
Rp. 5.572.250.000,-
2
Buldoser (Bulldozer)
Rp. 900.000.000,-
4
Rp. 3.600.000.000,-
3
Truk Penimbun (Dump Truck
Rp. 700.000.000,-
4
Rp. 2.800.000.000,-
TOTAL HARGA KESELURUHAN Rp. 11.972.250.000,- (U$ 1.275.000)

2.     Dalam harga objek leasing sudah termasuk asuransi, ongkos dan/atau biaya pengiriman semua barang-barang tersebut samapai ketempat lokasi site pertambangan yang bersangkutan yaitu di Kutai Kalimantan Timur.
3.     Harga sewa atas objek leasing adalah sebesar Rp. 159.630.000 (U$ 17.000) per bulan atau seluruhnya sebesar Rp. 9.577.800.000,- selama 5 (lima) tahun periode pertama.
4.     PIHAK KEDUA dapat memperpanjang jangka waktu sewa untuk 5 tahun periode kedua dengan ketentuan harga sewa atas objek leasing periode kedua adalah sebesar Rp. 25.000.000,- perbulaan atau seluruhnya sebesar Rp. 1.500.000.000,- selama 5 (lima) tahun periode kedua
5.     Cara pembayaran obkej leasing adalah dengan cara kredit dari total keseluruhan harga objek leasing, yang di bayarkan diawal bulan yaitu pada tanggal 7 disetiap bulannya, secara tunai setiap bulannya selama 60 bulan, oleh PIHAK KEDUA kepada PIHAK PERTAMA, atau dengan cara pembayaran alternatif melalui giro bilyet dengan memberitahukan terlebih dahulu kepada PIHAK PERTAMA.

PASAL 4
HAK OPSI

1.     PIHAK PERTAMA memberikan hak opsi kepada PIHAK KEDUA untuk memperpanjang jangka waktu sewa ketika masa jangka waktu sewa 5 tahun setiap periodenya akan berakhir atau dapat membeli objek leasing dengan membayarkan harga sisa/residu ddari perlengkapan pertambangan batubara sebesar Rp. 2.394.450.000,-
2.     Hak Opsi yang dimiliki oleh PIHAK KEDUA harus di ajukan kepada PIHAK PERTAMA secara tertulis terhitung 3 bulan sebelum masa jangka waktu sewa 5 tahun setiap periodenya berakhir.
PASAL 5
JANGKA WAKTU
1.     Perjanjian Leasing ini berlaku lima tahun setelah ditandatanganinya perjanjian ini dan akan berakhir masa leasing dengan sendirinya pada tanggal 7 November 2017, kecuali diperpanjang dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam perjanjian ini.
2.     Perjanjian ini dapat diperpanjang untuk jangka waktu sewa 5 tahun, setelah berakhirnya masa jangka waktu sewa 5 (lima) tahun periode pertama, dengan syarat-syarat yang disepakati oleh kedua belah pihak.
3.     PIHAK KEDUA dalam jangka waktu 3 bulan sebelum masa berakhirnya perjanjian harus menyatakan kehendaknya secara tertulis apabila berkehendak untuk melakukan perpanjangan jangka waktu sewa objek leasing dalam perjanjian ini.
4.     Setelah masa jangka waktu sewa beerakhir, PIHAK KEDUA  dapat membeli objek keasing kepada PIHAK PERTAMA, dengan harga Rp. 2.394.450.000,- harga tersebut merupakan harga sisa/residu dari perlengkapan pertambangan batubara.
5.     Apabila PIHAK KEDUA tidak memperpanjang jangka waktu sewa maka PIHAK KEDUA dapat membuat perjanjian leasing yang baru dengan PIHAK PERTAMA, dengan peralatan pertambangan batubara yang baru.
PASAL 6
JAMINAN
1.     PIHAK PERTAMA memberikan jaminan pada objek leasing yang di sewakan kepada Pihak kedua bahwa alat-alat berat tersebut adalah merupakan milik sah dari PIHAK PERTAMA dan tidak ada orang atau pihak lain yang turut memilikinya
2.     PIHAK PERTAMA memberikan jaminan selama perjanjian ini berlangsung kepada Pihak Kedua terhadap objek leasing yang berkaitan dalam hal peralatan tersebut tidak dapat dioperasikan sebagaimana mestinya, maka ongkos pengembalian barang-barang tersebut, serta biaya pengacara untuk menyelesaikan perkara tersebut yang dinilai 20% ditanggung oleh PIHAK PERTAMA.
3.     Apabila terjadi perubahan kepemilikan terhadap objek leasing tersebut selama jangka waktu sewa, PIHAK KEDUA tetap dapat menikmati hak sewa sampai berakhirnya perjanjian ini.
PASAL 7
HAK DAN KEWAJIBAN PIHAK PERTAMA
1.         PIHAK PERTAMA wajib menyerahkan objek leasing tersebut seutuhnya setelah PIHAK KEDUA menandatangani Surat Perjanjian ini dan membayar uang sewa bulan pertama, sebagaimana sudah disetujui dan disepakati sebelumnya.
2.         PIHAK PERTAMA wajib bertanggung jawab atas objek leasing yang di sewakan kepada Pihak Kedua, seuai dengan kewajiban yang di atur dalam perjanjian ini.
3.         PIHAK PERTAMA wajib menyerahkan objek leasing tersebut kepada PIHAK KEDUA meliputi segala sesuatu yang menjadi perlengkapannya serta dimaksudkan bagi penggunanya yang tetap, selama jangka waktu masa sewa.
4.         PIHAK PERTAMA wajib menyerahkan objek leasing tersebut meliputi segala sesuatu yang menjadi perlengkapannya serta dimaksudkan bagi penggunanya yang tetap, beserta surat-surat bukti kepemilikan, setelah PIHAK KEDUA menggunakan hak opsi untuk membelli objek leasing kepada PIHAK PERTAMA, dan membayarkan sejumlah uang yang sebagaiaman di atur dengan syarat-syaratdan ketentuan dalam perjanjian ini.
5.         PIHAK PERTAMA  berkewajiban menanggung biaya asuransi terhadap pengalapan/pengiriman dan juga menanggung biaya pengiriman, objek leasing samapi ketempat lokasi pengoperasian yaitu site pertambangan yang bersangkutan.
6.         PIHAK PERTAMA berkewajiban menyediakan serta mengirimkan instruktur yang akan memberikan kemahiran dan pemahaman bagaiaman objek leasing tersebut dioperasikan kepada para pekerja yang akan mengoperasikannyan.
7.         PIHAK PERTAMA berhak menerima pembayaran secara lunas terhadap objek leasing, sesuai dengan ketentuan dan cara pembayaran yang bagaiaman telah di sepakati dan disetujui sebelumnya oleh kedua belah pihak.
8.         PIHAK PERTAMA berhak melakukan pengecekan terhadap objek leasing tersebut selama disewakan dengan terlebih dahulu memberitahukan kepada PIHAK KEDUA.
9.         Apabila Piak Kedua tidak dapat melunasi pembayaran setiap bulannya, maka PIHAK PERTAMA dapat memberikan surat teguran pelunasan tagihan disetiap keterlambatan waktu pembayaran.
10.      Pada saat berakhirnya perjanjian ini, PIHAK KEDUA harus menyerahkan kembali objek leasing dalam keadaan yang baik dan terpelihara kepada PIHAK PERTAMA,
PASAL 8
HAK DAN KEWAJIBAN PIHAK KEDUA
1.         PIHAK KEDUA berhak atas objek leasing yang disepakati dan disetujui sebelumnya sesuai dengan harga, jaminan, dan cara pembayaran yang telah disepakati dan disetujui dalam perjanjian ini.
2.         PIHAK KEDUA berhak atas pembinaan instruktur yang di berikan oleh PIHAK PERTAMA sebelum penggunaan dan pengoperasian terhadap objek leasing yang sebagaimana telah disepakati dan disetujui
3.         PIHAK KEDUA wajib membayar harga sewa terhadap objek leasing selama jangka waktu sewa, pada waktu, tempat, dan cara pembayaransebagaimana ditetapkan menurut perjanjian ini.
4.         PIHAK KEDUA berhak atas opsi untuk meneruskan/memperpanjang hak guna serwa atau membeli objek leasing kepada PIHAK PERTAMA, dengan ketentuan, syarat-syarat, harga dan cara pembayaran sebagimana di tetapkan menurut perjanjian ini.
5.         Segala kerusakan dari objek leasing menjadi tanggungan sepenuhnya dari PIHAK KEDUA kecuali kerusakan yang ditimbulkan bukan oleh PIHAK KEDUA (Force majuer)akan ditanggung secara bersama oleh kedua belah pihak sebagaimana yang disepakati
6.         Selama perjanjian ini berlangsung, PIHAK KEDUA tidak diperkenankan untuk memindahkan hak guna sewanya sebagian ataupun seluruhnya kepada pihak lain tanpa persetujuan tertulis dari PIHAK PERTAMA.
7.         PIHAK KEDUA berhak untuk meminta perpanjangan jangka waktu masa sewa kepada PIHAK PERTAMA sesuai dengan ketentuan dan syarat-syarat yang diatur dalam perjanjian ini.



PASAL 9
FORCE MAJEURE
Dalam hal ini, kejadian-kejadian yang di sebabkan oleh bencana alam, dan kejdian tersebut tidak pernah terduga oleh para pihak sebelumnya akan adanya peristiwa tersebut, maka seyogyanya hal tersebut harus sudah di sepakati di antara para pihak.
PASAL 10
SANKSI DAN DENDA
1.         HAK KEDUA yang tidak dapat menyelesaikan pembayaran setiap bulannya sesuai dengan waktu dan cara pembayaran, maka pihak kedua di kenakan denda sebesar 2.000.000,-/hari terhitung sejak setelah tanggal 7 di setiap awal bulan.
2.         Apabila PIHAK KEDUA tetap tidak dapat menyelesaikan pembayaran hingga 6 bulan berturut-turut maka PIHAK PERTAMA dapat menahan dan/atau menarik kembali objek leasing dibawah penguasaannya hingga sisa pembayaran dapat di lunasi.
3.         Apabila objek leasing selama proses penahanan oleh PIHAK PERTAMA melebihi selama waktu 3 bulan, maka PIHAK PERTAMA dapat menyelesaikan masalah ini dengan cara-cara yang di atur didalam perjanjian ini.
4.         Apabila saat berakhirnya perjanjian ini, PIHAK KEDUA tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 dan PIHAK KEDUA tidak menyatakan kehendaknya untuk memperpanjang perjanjian sebagaimana di maksud dalam pasal 4 dan pasal 8, maka untuk setiap keterlambatan tidak memperpanjang jangka waktu sewa setelah masa jangka waktu sewa berakhir, maka PIHAK KEDUA akan dikenakan denda sebesar Rp. 5.000.000/hari, dan denda tersebut dapat di tagih seketika dancsekaligus lunas oleh PIHAK PERTAMA
5.         Apa bila keterlambatan terus berlangsung hingga 30 hari sejak berakhirnya perjanjian, maka PIHAK KEDUA memberi kuasa kepada PIHAK PERTAMA untuk mengambil objek leasing atas biaya PIHAK KEDUA dan bilamana perlu dengan bantuan pihak kepolisian setempat.
PASAL 11
BERAKHIRNYA PERJANJIAN
Perjanjian ini akan berakhir apabila masa jangka waktu sewa telah berakhir sebagaimana tercantum dalam pasal 5, maupun kedua belah pihak telah melaksanakan hak dan kewajiban yang tercantum dalam pasal 7 dan pasal 8 sesuai dengan kesepakatan sebelumnya.
PASAL 12
PENYELESAIAN SENGKETA
1.       Apabila terjadi sengketa atas isi dan pelaksanaan perjanjian ini, kedua belah pihak akan menyelesaikannya secara musyawarah.
2.       Apabila penyelesaian secara musyawarah tidak berhasil, maka kedua belah pihak sepakat untuk memilih domisil hukum dan tetap di kantor Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
PASAL 13
AMANDEMENA
Apabila ada suatu perubahan yang belum di atur  sebelumnya dalam kesepakatan para pihak atau belum di atur dalam surat perjanjian ini maka akan di musyawarahkan lebih lanjut oleh pihak dan hasil dari musyawarah tersebut akan di tuangkan dalam addendum yang tak terpisahkan dari perjanjian ini.
PASAL 14
LAIN-LAIN
Surat Perjanjian Leasing ini bermeterai Rp. 6.000,- dan rangkap 2 (dua), yang masing-masing memiliki kekuatan hukum yang sama.
Demikian perjanjian ini disetujui dan dibuat, serta ditandatangani oleh kedua belah pihak dengan dihadiri saksi-saksi yang di kenal oleh kedua belah pihak.


Pihak Pertama


(Ucok Finance)

Jakarta, 07 Nevember 2008
Pihak Kedua


(Butet Spd)




-       Putra Zhuleha, S.H


-       Merana galau, S.H

SAKSI-SAKSI




-       Rudolof  Kerupuk, S.E


-       Dr. Sukamto Hare, S.T